25 Feb 2009

Inkonstitusional, Sanksi Media Wajib Tayangkan Kampanye

24 Februari 2009 - 15:20 WIB

Hervin Saputra

VHRmedia, Jakarta – Mahkamah Konstitusi menghapus sebagian pasal Undang-Undang 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPRD, dan Dewan Perwakilan Daerah yang mengatur sanksi terhadap media massa soal penayangan iklan kampanye. Pasal tersebut dianggap melanggar Pasal 28 UUD 1945.

“Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Machfud MD saat membacakan putusan permohonan uji UU Pemilu di Jakarta, Selasa (24/2).

Permohonan uji UU Pemilu diajukan 8 pemimpin redaksi media cetak, yaitu Tarman Azzam (Terbit), Kristanto Hartadi (Sinar Harapan), Ratna Susilowati (Rakyat Merdeka), Badiri Siahaan (Media Bangsa), Marthen Selamet Susanto (Koran Jakarta), Dedy Pristiwanto (Warta Kota), dan Ilham Bintang (tabloid Cek & Ricek).

Para pemimpin redaksi tersebut menggugat isi Pasal 93 Ayat 3 UU Pemilu yang menyatakan media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama terhadap peserta pemilu dalam penayangan iklan kampanye. Menurut pemohon, pasal tersebut tidak memberikan solusi jika peserta kampanye tidak memiliki biaya atau tidak ada lembaga yang mau bekerja sama dalam bentuk iklan layanan masyarakat.

Pemohon keberatan terhadap aturan yang memberikan sanksi terhadap media massa jika tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh peserta pemilu untuk menayangkan iklan kampanye. Aturan sanksi yang diatur dalam Pasal 98 Ayat 2, 3, dan 4, serta Pasal 99 Ayat 1 dan Ayat 2 UU No 10/2008 menjadi inti gugatan pemohon.

Menurut hakim, Pasal 98 Ayat 2 yang mengatur pemberian sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, kata “atau” dalam pasal tersebut memunculkan alternatif penjatuh sanksi antara KPI dan Dewan Pers. Hal ini memungkinkan kedua lembaga itu menjatuhkan sanksi yang berbeda.

“Sesuai kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 (tentang Pokok Pers) tidak berwenang menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak,” kata hakim Mufthie Fadjar saat membacakan pendapat Mahkamah Konstitusi.

Hakim menilai Pasal 98 Ayat 4 UU 10/2008 menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. Sebab, pasal tersebut memberikan kewenangan terhadap Komisi Pemilihan Umum, KPUD provinsi dan kabupaten/kota untuk menjatuhkan sanksi terhadap media massa, jika KPI dan Dewan Pers tidak memberikan sanksi selambatnya 7 hari sejak ditemukan bukti pelanggaran. “Rumusan tersebut mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan antara KPU, KPI, dan Dewan Pers,” ujar Mufthie Fadjar.

Pasal lainnya yang dihapus oleh Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 98 Ayat 3, Pasal 99 Ayat 1, dan Pasal 99 Ayat 2. Pasal 99 Ayat 1 mengenai jenis sanksi dianggap hanya relevan untuk media penyiaran. Sanksi tersebut tidak sesuai untuk media cetak karena terkesan disalin
(copy paste) dari sanksi untuk media penyiaran. (E1)

http://www.vhrmedia.com/Inkonstitusional-Sanksi-Media-Wajib-Tayangkan-Kampanye-berita632.html

24 Feb 2009

Surat Kabar "Philadelphia" Bangkrut

KOMPAS, Selasa, 24 Februari 2009 00:43 WIB

Philadelphia, Minggu - Pemilik surat kabar The Philadelphia Inquirer dan Philadelphia Daily News mengajukan permohonan bangkrut, Minggu (22/2). Philadelphia Newspaper Inc, yang dimiliki oleh Philadelphia Media Holdings LLC, adalah perusahaan surat kabar kedua dalam dua hari terakhir dan keempat dalam beberapa bulan terakhir yang mengajukan bangkrut.

Permohonan bangkrut itu dilakukan sebagai upaya untuk merestrukturisasi utang. ”Restrukturisasi difokuskan hanya pada utang kami, bukan operasional. Operasi kami menguntungkan,” kata Brian P Tierney, CEO Philadelphia Media Holdings LLC.

Pengajuan bangkrut itu mengindikasikan perusahaan media itu memiliki aset senilai 100 juta dollar AS-500 juta dollar AS dan jaminan utang senilai kurang lebih sama. Dalam berita yang dimuat di situs internet, perusahaan itu memiliki utang 390 juta dollar AS.
Philadelphia Media Holdings LLC menyatakan akan tetap melanjutkan operasional surat kabar, majalah, dan bisnis online secara normal selama proses restrukturisasi utang.

”Dalam dua tahun terakhir, kami mengalami penurunan pemasukan secara dramatis, krisis ekonomi terburuk sejak Depresi Besar, dan struktur utang di luar realitas ekonomi saat ini,” kata Tierney.

Beruntun

Tahun lalu, perusahaan itu bisa meraup pendapatan hingga 36 juta dollar AS. Pendapatan itu diperkirakan menurun menjadi 25 juta dollar AS tahun 2009.

Kebangkrutan Philadelphia Media Holdings merupakan tamparan terbaru bagi bisnis surat kabar. Sebelumnya, The Journal Register Co mengajukan permohonan bangkrut, Sabtu (21/2).

Tribune Co yang berbasis di Chicago telah mengajukan bangkrut pada Desember 2008 dan The Star Tribune di Minneapolis mengajukan permohonan bangkrut pada bulan berikutnya.

Berdasarkan Biro Audit Sirkulasi, The Philadelphia Inquirer memiliki sirkulasi edisi hari kerja rata-rata 300.674 eksemplar per 30 September 2008. Jumlah itu turun 11 persen dari tahun sebelumnya. Untuk edisi hari Minggu, oplahnya mencapai 556.426 eksemplar, turun 14 persen dari tahun sebelumnya.

Dua surat kabar Philadelphia itu dibeli sekelompok investor yang dipimpin Tierney pada Juni 2006 seharga 562 juta dollar AS. (ap/fro)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/24/00434193/surat.kabar.philadelphia.bangkrut

21 Feb 2009

Bahasa dan Politik

KOMPAS
Sabtu, 21 Februari 2009 00:15 WIB

P ARI SUBAGYO

”What is clear is that political activity does not exist without the use of language” (Paul Chilton, Analysing Political Discourse: Theory and Practice, 2004).

Aktivitas politik senantiasa menggunakan bahasa. Metafora ”yoyo”, antonimi ”janji versus bukti” dan ”do something kontra do nothing”, imperasi-metaforis PPP ”Mari kembali ke ’rumah besar’ kita”, dan ”penjelasan” Yudhoyono atas ”keseleo lidah” kadernya hanyalah sebagian bukti.

Sebaliknya, bahasa pun berbalut politik. Penentuan 21 Februari sebagai International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII), misalnya, merupakan keputusan politik. Isu-isu kultural yang diangkat UNESCO seputar HBII selalu berspektrum politis.

Terkait dengan kampanye Pemilu Legislatif 2009, pertanyaannya, fenomena (kebahasaan) apa yang mencuat? Kebijakan apa yang perlu dibuat mengenai bahasa kampanye dalam kerangka HBII pada waktu mendatang?

Bahasa politik

Chilton sebenarnya menyimpulkan ide Aristoteles (384-322 SM) tentang manusia sebagai ”binatang politik” (politikon zoon, political animal). Ciri manusia adalah hidup berkelompok dan bertutur. Kumbang dan beberapa satwa juga berkelompok dan dapat bersuara, tetapi hanya manusia yang mampu bertutur. Suara (voice) berbeda dengan tuturan (speech).

Kemampuan bertutur memungkinkan manusia membangun relasi sosial dan mewujudkan ”kehidupan yang baik”, Plato dan Aristoteles menyebutnya ”en dam onia”. Itulah ”binatang politik”. Politik dalam arti luas adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik, gemah ripah loh jinawi, the good life (Budiardjo, Dasar- dasar Ilmu Politik, 2008).

Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Konflik kepentingan diatasi dan naluri saling mendominasi ditangani.

Kampanye pemilu merupakan bagian politik mikro. Bahasa kampanye, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa kampanye bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif.

Bahasa kampanye Pemilu Legislatif 2009 tampak beda. Hingga Pemilu 2004, kampanye diwarnai perang janji, perang pernyataan, perang ayat, saling menjelekkan, saling klaim wilayah yang—sungguh aneh bin ajaib—dibuat para pendukung parpol. Muncul beragam kreativitas berbahasa, tetapi konflik horizontal juga menghadang di depan mata.

Kini masyarakat tidak ikut memproduksi bahasa kampanye. ”Konflik” terjadi justru antarcaleg, internal maupun eksternal. Fragmentasi internal tecermin melalui iklan kampanye individual caleg. PKS, misalnya, menghindari cara ini untuk meredam konflik internal, lalu lebih mengampanyekan partai. Modus kampanye mencerminkan soliditas partai.

Parpol mengumbar janji lewat iklan di koran dan televisi. Caleg berduit menjalankan—dalam istilah Piliang dan Latif— ”narsisme politik” atau ”politik narsistik” dengan menyodorkan potret diri kepada publik. Sebagian terjebak dalam kultus individu dengan memasang wajah tokoh parpolnya. Mungkin caleg kurang berani sehingga harus ditemani. Sebagian menampilkan irasionalitas dan manipulasi. Seorang caleg Golkar, misalnya, berpose dengan pesepak bola Inggris, David Beckham. ”Beckham saja milih no. 23!” katanya. Caleg lain yang anaknya jadi pesohor membawa-bawa wajah anaknya nampang di pinggir jalan.

Politik bahasa

Membahas bahasa dan politik selalu merambahi topik politik bahasa (Joseph, Language and Politics, 2006). Penetapan 21 Februari sebagai HBII oleh Majelis Umum PBB merupakan politik bahasa sekaligus keputusan politik ”murni”.

Pada 1947 Bengali—kini Banglades—terbelah dua karena agama. Sebagian India (Hindu), sebagian Pakistan (Islam). Pada 1948 ketegangan mencuat sejak Pakistan meresmikan bahasa Urdu sebagai bahasa nasional. Kebijakan itu menyulut protes penutur bahasa Bengali, warga mayoritas di Pakistan timur. Pemerintah Pakistan tak bergeming. Lalu mahasiswa Universitas Dhaka menggelar demonstrasi. Pada 21 Februari 1952, empat mahasiswa tewas saat memperjuangkan martabat bahasa ibu mereka, bahasa Bengali.

Mereka lalu dihormati sebagai syuhada dengan sebuah Shaheed Minar (Monumen Kemartiran) di Dhaka. Sejak kemerdekaan Banglades, 21 Februari menjadi hari libur nasional. ”Pesta bahasa Bengali” digelar dalam rupa-rupa kegiatan.

Pengalaman Banglades merupakan inspirasi untuk memartabatkan bahasa-bahasa lokal. Berita ”Caleg Lokal Makin Prospektif” (Kompas, 11/2/2009/A1) menunjukkan, dalam Pemilu Legislatif 2009, jumlah caleg DPR yang berasal dari daerah pemilihan sendiri (caleg lokal) cenderung meningkat. Selain itu, keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sistem pencalegan dari nomor urut menjadi suara terbanyak, mendorong caleg berlomba mendekati pemilih.

Terkait dengan HBII sebagai ajakan untuk menggunakan bahasa lokal, kecenderungan itu membuka peluang kampanye pemilu sekaligus menjadi kampanye penggunaan bahasa lokal. Apalagi kampanye pemilu akan selalu berimpitan waktu dengan HBII. Kelak, politik bahasa (lokal) dapat diintegrasikan dalam UU Pemilu.

Selama ini, mayoritas anggota DPR lebih memilih tinggal di Jakarta. Menyapa konstituen dan mengunjungi rakyat yang mereka wakili minim dilakukan. Jangan-jangan, saat mengunjungi konstituen pun, mereka sebenarnya tidak mampu memahami aspirasi rakyat karena kendala bahasa (lokal).

Saatnya para wakil rakyat piawai menggunakan segenap kecerdasan bahasanya. Tidak melulu untuk menyerang dan melumpuhkan lawan politiknya, tetapi terlebih juga untuk memahami kehendak rakyat yang diwakili. Wakil rakyat adalah ”binatang politik” yang tinggal dalam sanubari rakyat, bukan ”binatang sungguhan” penghuni kebun binatang.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/21/00150142/bahasa.dan.politik



Bahasa Ibu, Siapa Peduli?

KOMPAS
Sabtu, 21 Februari 2009 00:11 WIB

R Kunjana Rahardi

Sungguh amat mencengangkan. Laju kepunahan bahasa Jawa dilaporkan 4,1 persen. Angka kematian itu nyaris dua kali lipat bahasa Bali, 2,1 persen.

Siapa pun yang masih peduli bahasa Jawa semestinya miris menyimak laporan UNESCO, badan pendidikan, sains, dan kebudayaan PBB ini. Pada akhir abad XXI, bahasa-bahasa daerah di dunia diprediksi hanya bakal tersisa 10 persen.

Di Indonesia terdapat bahasa- bahasa ibu yang berpenutur minim. Sebut bahasa Tondano (Sulawesi), Tanimbar (Nusa Tenggara), Ogan (Sumatera Selatan), Buru (Maluku), dan Maku’a (Nusa Tenggara Timur).

Begitu pula bahasa-bahasa di Papua, padahal jumlahnya banyak sekali. Untuk dapat bertahan dari kepunahan, secara linguistis dijelaskan, tiap bahasa ibu harus berpenutur minimal 100.000 orang. Sayang sebagian terbesar bahasa ibu di Indonesia tidak memenuhi batas minimal itu.
Maka, dengan data itu, kita harus mencemasi bahasa-bahasa ibu.

Sinyalemen UNESCO itu adalah keniscayaan. Jika tidak segera dibangun langkah jitu, akhir abad XXI bakal ada tragedi besar bagi bahasa-bahasa ibu.

Siapa peduli bahasa ibu?

Rasanya sulit menjawab pertanyaan ini. Selain karena mangkirnya kepedulian, dominasi bahasa nasional dan desakan bahasa asing jelas memperparah keadaan. Bahasa-bahasa ibu hampir pasti bakal tenggelam. Kemangkiran kepedulian terhadap bahasa ibu yang jumlahnya 706 buah itu, identik pembiaran bahasa-bahasa ibu mati bunuh diri (language suicide).

Linguis tertentu mendukung sikap ini, utamanya AA Fokker. Dalam benaknya, guna menopang bahasa nasional, bahasa-bahasa ibu harus dibiarkan mati.

Sebagai linguis, saya menolak keras gagasan lama ini sebab membiarkan satu saja bahasa ibu mati artinya persis sama dengan meniadakan aset budaya bangsa luar biasa besar. Maka, kerugian kita bakal menjadi amat kolosal.

Jadi, apa pun alasannya, bahasa-bahasa ibu di Indonesia mutlak harus diselamatkan. Upaya-upaya pemertahanan bahasa ibu (language defence) harus dibuat dan dirumuskan. Langkah jitu pembalikan terhadap arus kepunahan, terhadap arah dinamika inklusif alias melungker, harus sesegera mungkin dilakukan.

Untuk itu, ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, kepada para pemangku kekuasaan dan/atau jabatan di lingkungan pemda, baik provinsi maupun kabupaten atau kota, sempurnakan kebijakan bahasa- bahasa ibu lewat raperda-raperda yang ada. Implementasi Undang- Undang Otonomi Daerah yang amat meluas juga harus membuka kesempatan amat lebar bagi pembangunan kebijakan pemertahanan bahasa-bahasa ibu di daerah masing-masing.

Pendidikan paling dasar

Kedua, kepada para kepala dinas pendidikan, baik provinsi maupun kabupaten atau kota, benahilah kebijakan pemakaian bahasa ibu di sekolah-sekolah di wilayah itu. Secara teoretis-linguistis, bahasa ibu yang digunakan dengan baik sejak pendidikan paling dasar hingga anak usia SD kelas III bakal banyak mendukung pembelajaran bahasa pada tahapan berikut. Maka, tidak selayaknya playgroup, TK, dan SD di tingkat awal sudah menyingkirkan peran bahasa ibu. Euforia globalisasi boleh saja terjadi, tetapi bahasa ibu jangan buru-buru dikesampingkan, lalu diganti bahasa Inggris atau bahasa asing lain. Ini amat fatal.

Ketiga, tindakan para pendidik dan guru bahasa di sekolah-sekolah, para penyusun kurikulum, pembuat silabus, dan perancang materi pemelajaran bahasa yang menggantikan bahasa ibu dengan bahasa kedua, atau dengan bahasa Inggris atau bahasa asing lain, adalah tindakan amat keliru dalam konteks pemelajaran bahasa. Apakah para pendidik dan guru tidak merasa bersalah jika anak-anak didik bakal ”mandul” bahasa ibunya, bakal ”jebol” bahasa Indonesia-nya, dan bakal ”bobol” bahasa Inggris-nya?

Keempat, bagi siapa pun yang masih merasa memiliki bahasa ibu dalam domain keluarga dan dalam ranah kekerabatan dengan rekan dan saudara, diharapkan agar tetap menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan keseharian. Sesungguhnya, keluarga berjati diri sebagai penjaga gawang (goal keeper) paling akhir bagi pemertahanan bahasa ibu. Maka, jangan biarkan gawang akhir jebol akibat lebih terpesona pada bahasa-bahasa di luar bahasa ibu.

Amat diyakini, tragedi bahasa- bahasa ibu di Indonesia tidak bakal terjadi pada akhir abad XXI seperti ditakutkan UNESCO jika empat hal mendasar itu tidak diabaikan.

Selamat memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional! Viva bahasa-bahasa ibu di Indonesia!

R Kunjana Rahardi Linguis; Konsultan Bahasa Media Massa; Dosen ASMI St Maria Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/21/00114811/bahasa.ibu.siapa.peduli

20 Feb 2009

Pekerja Rumahan (Home Workers)


Oleh: Daniel S. Stephanus, SE, MM, MSA, Ak

Tingginya biaya hidup yang harus ditanggung oleh rakyat yang ditingkahi oleh sempitnya lapangan pekerjaan mendorong setiap rumah tangga berusaha mencukupi kebutuhan ekonominya bukan hanya bergantung pada satu orang saja, sang kepala rumah tangga.

Setiap anggota keluarga atau rumah tangga menjadi berkewajiban turut serta membantu memenuhi kebutuhan keluarga, baik dengan bekerja ataupun berusaha di luar rumah juga di dalam rumah. Adanya ruang dan waktu yang tersedia di rumah menjadikan kerja rumahan (homework) menjadi pilihan yang paling mudah untuk dipilih.

Apa Itu Pekerja Rumahan?

Kerja rumahan secara khusus dapat didefinisikan sebagai proses produksi barang dan jasa yang dikerjakan di lingkungan rumah untuk memperoleh pendapatan ataupun upah. Kerja rumahan untuk untuk memperoleh pendapatan dilakukan dengan melakukan usaha baik dalam bentuk produksi barang dan jasa maupun usaha dagang, sedangkan kerja rumahan untuk memperoleh upah dilakukan dengan melakukan proses produksi barang dan jasa dengan upah persatuan (piece rate) dan sama sekali tidak tergantung pada lamanya (jam) kerja. Kerja rumahan guna memperoleh upah inilah yang lazim disebut dengan pekerja rumahan atau buruh rumahan.

Secara khusus kerja rumahan (homework) dikonotasikan secara langsung dengan pekerja rumahan (homeworkers), bahkan ILO (International labour organization) organisasi buruh internasional bentukan Perserikan Bangsa-Bangsa dalam konvensi 1996 mendefinisikan kerja rumahan adalah pekerja rumahan.

Konvensi ILO 1996 menyatakan bahwa kerja rumahan adalah “kerja oleh seseorang di dalam rumahnya atau ditempat lain yang dipilihnya, diluar tempat kerja milik majikan (pengusaha); untuk memperoleh upah; dan hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh majikan (pengusaha) terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku , peralatan dan masukan lain yang dipergunakan.

Sayangnya konvensi ILO 1996 tersebut belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga pekerja rumahan tidak termasuk dalam kategori pekerja atau buruh, sehingga pekerja rumahan tidak memperoleh perlindungan hukum dan pengaman sosial yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia.

Siapakah Pekerja Rumahan?

Pekerja rumahan merupakan buruh yang bekerja bukan di pabrik tetapi di rumah tetapi dengan bekerja seperti layaknya di pabrik. Pekerja rumahan mengerjakan atau memproduksi produk dan jasa yang layaknya di kerjakan oleh pabrik.

Pekerjaan yang dilakukan mulai dari aktifitas pabrikasi seperti membuat sepatu, menjahit pakaian, merakit dan mengemas barang, melinting rokok dan banyak pekerjaan pabrikasi lainnya. Pekerja rumahan juga mengerjakan pekerjaan kerajinan seperti menyulam, membordir untuk produk-produk garmen ataupun kerajinan pembuatan peralatan rumah tangga sampai pada pernak-pernik hiasan rumah dan asesoris (perhiasan).

Pekerja rumahan bekerja mandiri tanpa memiliki atasan tetapi juga tidak punya bawahan, karena pekerja rumahan yang bekerja sendiri di rumah tidak dibayar berdasar jam kerja tetapi berdasar jumlah produksi tertentu yang dihasilkannya.

Pada dasarnya, Pemberi kerja baik itu perantara maupun sang majikan sendiri tidak mau tahu proses kerja yang dilakukan pekerja rumahan, tidak mau tahu berapa banyak sumber daya domestik yang dipergunakan oleh pekerja rumahan, yang perantara atau majikan tahu adalah jumlah produk tertentu dengan standar mutu tertentu sesuai dengan perjanjian lisan tanpa pernah ada kontrak resmi.

Pekerja rumahan nyaris seluruhnya adalah wanita, karena lebih sebagai peran sampingan pemenuhan nafkah rumah tangga. Wanita sebagai ibu rumah tangga dituntut untuk menjalankan dua peran dalam rumah tangganya, peran utama dalam peran domestiknya dan peran pembantu dalam peran penunjang ekonomi yang ironisnya seringkali malah berubah menjadi peran utama melebih peran kepala rumah tangganya.

Wanita pekerja rumahan pada dasarnya sama saja dengan buruh, walaupun bekerja di rumah. Bahkan bekerja di rumah mendapat apresiasi lebih dari kepala rumah tangga, anggota keluarga lain maupun dari masyarakat.

Hal ini terkait dengan peran wanita dalam peran domestik baik sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga. Sehingga pekerja rumahan tidak nampak sebagai buruh yang patut mendapat perlindungan baik secara hukum maupun sosial karena adanya hubungan industrial yang jelas. Karena hanya dianggap sebagai aktifitas tambahan dalam rumah tangga dan bahkan dianggap iseng-iseng belaka maka oleh Pemerintah Indonesia belum (atau bahkan tidak) perlu mendapat perlindungan layaknya buruh (pabrik) baik perlindungan hukum maupun sosial.

Mengapa Ada Pekerja Rumahan?

Naiknya kebutuhan rumah tangga yang ditingkahi oleh naiknya harga-harga kebutuhan yang harus dipenuhi oleh sebuah rumah tangga menjadi pemicu utama wanita sebagai ibu rumah tangga turut bekerja guna memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Adanya waktu dan ruang kerja yang bebas semakin mendorong wanita, khususnya ibu rumah tangga untuk bekerja sebagai pekerja rumahan.

Belum lagi bila di lingkungan seputar rumahnya telah ada kelompok-kelompok pekerja rumahan yang bekerja untuk seseorang perantara ataupun majikan guna memproduksi produk atau jasa tertentu. Sinergi antara pemenuhan kebutuhan, jam kerja yang bebas tanpa menganggu kesibukan sebagai ibu rumah tangga, ruang kerja yang tersedia di rumah, dan keberadaan perantara atau majikan yang menyediakan pekerjaan menjadikan wanita menjadi pekerja rumahan. Kebebasan bekerja yang dimiliki oleh pekerja rumahan sebenarnya adalah kebebasan semu.

Walaupun pekerja rumahan “sepertinya” bebas menentukan jam kerja, tempat kerja bahkan alat produksinya sendiri tetapi sebenarnya mereka terjerat pada aktifitas produksi yang bukan hanya memanfaatkan jam kerja dan tempat kerja yang tidak terbatas tetapi juga alat produksi pribadi yang tidak pernah dihitung sebagai bagian dari upah produksi oleh para perantara dan majikan pemberi kerja. Sumber daya besar yang terserap dalam pekerjaan dan dimanfaatkan dengan baik oleh para pemberi kerja tanpa disadari pekerja rumahan, eksploitasi besar-besaran sumber daya domestik (rumah tangga) tanpa pernah memperoleh kompensasi sedikitpun.

Di Mana Pekerja Rumahan Bekerja?

Pekerja rumahan bekerja di rumah atau tempat lain (yang juga masih sekitar rumah) di luar tempat kerja (pabrik) milik majikan. Kondisi ini menjadikan pekerja rumahan tidak terorganisir secara baik dan bahkan cenderung bekerja secara sendiri-sendiri, walau seringkali terkumpul dalam satu sentra tertentu seperti satu kampung ataupun dusun. Kebebasan menentukan tempat kerja sebenarnya adalah jebakan eksploitasi yang tidak pernah disadari oleh pekerja rumahan.

Memanfaatkan ruang yang ada di rumah, karena pertimbangan bukan hanya ruang yang menganggur tetapi enaknya bekerja tanpa meninggalkan rumah menjadikan rumah sebagai gudang bahan baku , tempat proses produksi dan juga gudang barang jadi. Pekerja rumahan menyulap rumah mereka menjadi pabrik mini, pemberi kerja memanfaatkannya dengan iming-iming pekerjaan yang lebih banyak dan tentu saja upah yang lebih besar pula. Gudang gratis, pabrik gratis bahkan tenaga kerja tambahan gratis, eksploitasi habis-habisan bukan hanya pekerja rumahan sebagai pekerja atau buruh murah tetapi juga seluruh sumber daya domestik yang dimilikinya.

Sayangnya, para pekerja rumahan tidak merasa dieksploitasi bahkan merasa mendapat rejeki nomplok karena merasa dipercaya oleh sang majikan dan dihargai sebagai pekerja yang baik dengan hasil porduksi yang terbaik. Ironi dibalik bayang-bayang upah minim. Masalah lain yang menjadi masalah besar adalah aktivitas pengorganisasian. Pengorganisasian menjadi masalah pelik bagi pekerja rumahan karena keterpisahan tempat kerja dan kurangnya pemahaman (atau bahkan memang sengaja dibodohkan) agar tidak ada kekuatan tawar pekerja.

Intinya pekerja rumahan benar-benar dikondisikan sebagai kegiatan sampingan semata yang walaupun mempergunakan sumberdaya rumahtangganya tidak perlu (tidak boleh) menuntut lebih.

Kapan Pekerja Rumahan Bekerja?

Pekerja rumahan seharusnya bekerja dengan memanfaatkan waktu luang saat menjalankan peran rumah tangganya, tetapi pada kenyataannya pekerja rumahan seringkali mengorbankan bukan hanya waktu luang tetapi juga waktu-waktu yang seharusnya menjadi waktu dalam peran domestiknya.

Hampir setiap pekerja rumahan lebih asyik mengerjakan pekerjaannya sebagai pekerja rumahan ketimbang pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Kondisi ini terjadi karena tuntutan pekerjaan yang secara sistematis memicu pekerja rumah tangga bekerja untuk mencapai target produksi tertentu. Sistem upah berdasar jumlah produk tertentu baik dihitung perunit maupun borongan menuntut pekerja untuk bekerja dengan tingkat produktivitas tinggi. Jam kerja yang seringkali mengalahkan waktu-waktu pribadi dan keluarga berganti menjadi jam produksi karena tuntutan memenuhi jumlah produksi tertentu, bahkan anggota keluarga lain seperti anak dan saudara dijadikan bagian dari pekerjaan.

Bagaimana Pekerja Rumahan Bekerja?

Pekerja rumahan, khususnya wanita pekerja rumahan telah menjadi obyek eskploitasi pemberi kerja baik seorang perantara ataupun majikan pemilik modal. Bukan hanya jam-jam domestik rumah tangga mereka saja yang tereksploitasi, aktivitas kerja menenggelamkan aktivitas keluarga atau menggeser aktivitas kerluarga menjadi aktivitas kerja. Rumah pekerja rumahanpun telah berbah menjadi bukan hanya tempat proses produksi tetapi telah berubah menjadi pabrik mini karena berpindahnyanya gudang bahan baku dan bahkan barang jadi ke rumah.
Ironisnya, ruangan rumah yang terpakai sebagai parbik mini tersebut, biaya listrik, biaya pemeliharaan dan juga penyusutan tidak pernah diperhitungkan sebagai biaya produksi oleh pekerja rumahan. Bahkan dimanfaatkan oleh para pemberi kerja dan pemilik modal dengan dalih “kepercayaan” dan “penghargaan” terhadap produktivitas dan mutu kerja dari pekerja rumahan tersebut.

Sistem upah borongan mendorong pekerja rumahan untuk bekerja sedemikian rupa guna memenuhi target produksi dan mencari upah lebih karena tingkat produktivitas diatas tingkat produktivitas yang telah ditentukan.

Iming-iming penghasilan lebih menjadikan pekerja rumahan mampu dan rela untuk mengorbankan jam-jam pribadi dan domestik juga ruang (rumah) pribadi dan keluarga menjadi bagian dari proses produksi yang tanpa mereka sadari tidak mendapat kompensasi apa pun.

Bukan hanya bujuk rayu ekonomis yang dilakukan oleh para pemberi kerja, tetapi juga bujuk rayu psikologis dan juga sosiologis disasarkan pada para pekerja rumahan. Semakin banyak pekerjaan, semakin menumpuk bahan baku dan barang jadi di rumah menjadikan pekerja rumahan bukan saja merasa terangkat tingkat ekonominya saja tetapi juga kepuasan pribadi (self actulitation) sebagai pekerja yang handal dan terpercaya serta tentu saja terpandang secara sosial (self esteem) di lingkungan sekitar rumahnya.

Masalah-Masalah di Seputar Pekerja Rumahan

Ketersembunyian (invisibility)

Keberadaan pekerja rumahan, khusunya wanita pekerja rumahan tidak tampak atau tidak diperhitungkan kontribusinya dalam proses produksi baik oleh produsen, konsumen, kalangan akademisi dan pakar ekonomi, aktivias perburuhan, masyarakat luas dan bahkan Pemerintah Daerah maupun Pusat di Indonesia ini.

Sebagai akibatnya, pekerja rumahan terabaikan dan bahkan tidak tercatat secara kuantitatif dan statistik sebagai pekerja atau buruh yang perlu mendapat perhatian dan khususnya perlindungan hukum dan sosial. Bahkan kebutuhan untuk berorganisasi dan pemberdayaan guna meningkatkan kesejahteraan dan posisi tawar pekerja rumahan terhadap pemberi kerja tidak tersentuh (tergarap) dengan layak.

Tuntutan kebutuhan hidup yang melambung tinggi dari hari ke hari serta tidak adanya kesempatan kerja secara formal akan meningkatkan potensi kerja rumahan dan ketergantungan yang makin tinggi pada pemberi kerja, walau dengan upah rendah bahkan sangat rendah.

Kondisi Kerja dan Hubungan Kerja Buruh-Majikan

Berbeda dengan pekerja di sektor formal yang memiliki hubungan kerja atau hubungan industrial yang jelas berupa Undang-undang Hubungan Industrial, pekerja rumahan tidak memiliki payung hukum dan perlindungan sosial sama sekali.

Pekerja rumahan bekerja tanpa kontrak kerja, bekerja bukan di pabrik tetapi di rumahnya sendiri atau disekitarnya, upah minimal dibayar bukan berdasar satuan waktu tetapi berdasar unit kerja yang diproduksinya dan tanpa bonus, tidak ada jam kerja tertentu, tidak mengenal waktu libur dan cuti, bahan baku berasal dari pemberi kerja tetapi tidak jarang pekerja rumahan menanggung sebagian, proses prosuksi dan alat porduksi memanfaatkan aset pekerja rumahan sehingga menanggung biaya produksi, proses produksi tanpa supervisi dan pengawasan, tidak berhak memasarkan produk, tidak ada perlindungan terhadap keselamatan dan kecelakaan kerja, dan masih banyak lagi masalah hubungan industrial yang tidak melindungi pekerja rumahan sama sekali, sedikitpun tidak.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Masalah kesehatan dan keselamatan kerja dengan sengaja diabaikan oleh pemberi kerja dan bahkan tidak menjadi perhatian bagi pekerja rumahan itu sendiri. Terganggunya kesehatan karena aktivitas kerja atau bahkan sebagai akibat dari pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja rumahan bukan menjadi tanggung jawab pemberi kerja tetapi ditanggung sendiri oleh pekerja rumahan sebagai konsekwensi kerja yang dilakukannya. Kecelakaan kerja sebagai risiko kerja dan bahkan sebagai dampak dari kelelahan kerja guna mencapai target produksi yang diinginkan sama sekali diluar tanggungan pemberi kerja tetapi ditanggung sendiri oleh pekerja rumahan.

Perlindungan Sosial

Perlindungan sosial bagi pekerja rumahan seperti hak untuk libur, cuti, bonus, tunjangan hari raya ataupun jaminan sosial dalam bentuk apapun tidak pernah diterima oleh para pekerja rumahan sebagai “hak” tetapi hanya sebagai “kebaikan hati” pemberi kerja. Pekerja rumahan tidak bisa menuntut memperoleh perlindungan atau jaminan sosial pada para pemberi kerja karena posisi tawar yang rendah, bahkan secarik kertas kontrak dan aturan kerjapun tidak akan pernah diterima oleh para pekerja rumahan. Pada dasarnya, pekerja rumahan tidak akan pernah memperoleh haknya sebagai pekerja kecuali hak memperoleh upah (yang rendah sekali) setelah memproduksi barang dan jasa dalam jumlah tertentu.

Gender Pekerja

rumahan yang didominasi atau bahkan nyaris seluruhnya adalah wanita terkait dengan masalah gender, peran wanita dalam ruang domestik. Kesetiaan wanita pada peran gendernya untuk bekerja di rumah tidak mendapat upah yang layak bahkan diupah dengan sangat murah. Stigma pekerja rumahan hanya sebagai penunjang ekonomi rumah tangga dan bahkan hanya sebagai aktivitas “iseng-iseng berhadiah” menjadi belenggu peran pekerja rumahan sebagai peran produktif dalam roda perekonomian bukan hanya pada ruang domestik tetapi sampai pada skala nasional.

Kondisi Tempat Kerja dan Lingkungan Kerja

Pekerjaan pekerja rumahan dilakukan di rumah pribadi, rumah yang sebenarnya tidak dirancang secara khusus sebagai tempat produksi. Rumah menjadi bukan saja tidak layak untuk menjadi pabrik mini tetapi juga menjadi tidak layak sebagai tempat tinggal. Rumah pribadi telah berubah menjadi pabrik sehingga rumah menjadi tidak nyaman dan bahkan seringkali tidak layak menjadi tempat tinggal. Sayangnya, pengorbanan besar pekerja rumahan ini tidak mendapat kompensasi sama sekali dari pemberi kerja, bahkan sebagian biaya produksi dengan memanfaatkan aset (rumah, perabotan dan seisinya) dan sumber daya rumah pekerja (listrik, air dan penghuni rumah) menjadi tanggungan pekerja rumahan.

Upah Minimal Jauh di Bawah UMK

Pekerja rumahan bukan saja menerima upah yang sangat minim karena tidak memperhitungkan jam kerja tetapi berdsasar produk yang diproduksinya, bahkan biaya-biaya produksi ditanggung oleh pekerja rumahan. Penggunaan ruangan rumah sebagai tempat kerja dan gudang bahan baku dan barang jadi, peralatan dan perabotan rumah sebagai alat produksi, sumber daya rumah tangga seperti listrik, air dan tenaga kerja tambahan (penghuni rumah tangga lainnya) tidak pernah diperhitungkan sebagai biaya produksi atau tambahan upah yang seharusnya diterima oleh pekerja rumahan.

Eksploitasi habis-habisan oleh para pemberi kerja dan pemilik modal pada para pekerja rumahan. Bukan hanya tenaga dan waktu pekerja rumahan yang dimanfaatkan tetapi juga aset dan seluruh sumber daya rumah tangganya dieksploitasi habis guna mencapai tingkat produktivitas yang ditetapkan secara sepihak oleh pemberi kerja dan pemilik modal. Keuntungan besar bahkan sangat besar diperoleh oleh pemberi kerja dan pemilik modal bukan hanya karena efektifitas kerja pada pekerja rumahan tetapi juga efisiensi tingkat tinggi proses produksi yang dinikmati oleh pemberi kerja dan pemilik modal.

Pengusaha yang Tidak Tampak

Pemberi kerja dan pemilik modal pada aktifitas produksi yang dilakukan oleh para pekerja rumahan nyaris tidak terdeteksi dan tampak di permukaan. Jaringan dan rantai perantara yang rapi dan tertutup menjadikan praktek ekonomi gelap (black economy) merajalela di basis masyarakat terkecil, ruang keluarga (domestik). Sayangnya, sampai saat ini praktek bisnis gelap dan eksploitasi pekerja rumahan tidak terpapar di masyarakat, khususnya di kalangan aktifis buruh, akademisi dan pakar ekonomi, juga Pemerintah.

Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 secara nyata telah mendefinisikan pekerja atau buruh sebagai seseorang yang menerima perintah kerja dan menerima upah, tetapi definisi ini tidak berlaku bagi pekerja rumahan. Walau menerima upah jauh dibawah UMK tetapi karena perintah kerja yang tidak tertulis sebagai akibat dari praktek ekonomi gelap, perlindungan sosial dan hukum bagi pekerja rumahan tidak akan pernah diperoleh. Bahkan minim sekali perhatian, pemberdayaan, dan advokasi yang diterima oleh pekerja rumahan melawan eksploitasi pemberi kerja dan pemilik modal yang sulit dikenali secara langsung.

Organisasi

Sifat domestik dan keterpisahan bukan hanya tempat kerja tetapi juga hubungan antar pekerja rumahan menjadikan pengorganisasian pekerja rumahan sebagai suatu pekerjaan yang sulit. Pekerja rumahan secara resmi belum terorganisasi dalam sebuah organisasi buruh, bahkan tidak diakui sebagai buruh bila menilik perundangan dan peraturan perburuhan yang ada di Indonesia ini. Ironisnya lagi sampai saat ini belum ada organisasi buruh yang mengakui pekerja rumahan sebagai bagian dari buruh (pabrik), bahkan di mata Pemerintah pun pekerja rumahan bukan merupakan buruh malahan tidak terhitung sebagai faktor produksi yang perlu dicatat dalam statistik ekonomi Pemerintah.

Advokasi

Advokasi yang dibutuhkan untuk menghilangkan eksploitasi dan guna meningkatkan nilai tawar pekerja rumahan belum banyak dilakukan atau nyaris tidak ada. Bukan hanya oleh aktifis perburuhan, aktivis HAM, LSM pemberdayaan, akademisi apalagi oleh Pemerintah. Selama ini advokasi hanya dilakukan oleh jaringan pendamping pekerja rumahan seperti MWPRI dan HWPRI.

Padahal perlindungan sosial dan hukum sangat diperlukan oleh para pekerja rumahan untuk meniadakan eksploitasi yan dialaminya dan tentu saja untuk meningkatkan nilai tawar pekerja rumahan dihadapan pemberi kerja dan pemilik modal. Banyak sekali pekerjaan advokasi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja rumahan dengan memperoleh hak-hak pekerja dan pemanfaatan alat produksi domestik yang seharusnya mereka terima.

Refleksi

Pemberdayaan dan perlindungan sosial dan hukum bagi para pekerja rumahan sangat-sangat mendesak untuk diperjuangkan. Pemberdayaan untuk meningkatkan nilai tawar pekerja rumahan dilakukan guna penyadaran terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja dan tentu saja pemenuhan hak atas penggunaan alat produksi domestik sebagai alat produksi kerja. Bukan hanya upah yang layak yang harus diterima oleh pekerja rumahan tetapi juga kompensasi atas pemakaian alat produksi rumah tangga dalam proses produksi yang dikerjakan oleh pekerja rumahan.

Perlindungan hukum dan sosial seharusnya ada bagi pekerja rumahan, perlindungan ini berguna untuk mencegah praktik ekonomi gelap yang dilakukan oleh pemberi kerja dan pemilik modal serta tentu saja meniadakan eksploitasi pekerja rumahan. Menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan payung hukum berupa peraturan dan perundangan yang menjamin hak-hak dasar pekerja rumahan.

Pada akhirnya, menjadi tugas dan kewajiban kita bersama baik mereka yang menyebut mereka aktifis buruh, aktifis HAM, akademisi dan ilmuwan, bahkan Pemerintah baik Daerah maupun Pusat, atau siapapun yang merasa terpanggil untuk meniadakan eksploitasi para pekerja rumahan. Bukan karena kasihan terhadap nasib para pekerja rumahan tetapi karena pekerja rumahan berhak mendapatkan hak-hak mereka sebagai pekerja dan sebagai manusia. Bukan hanya sebagai salah satu faktor produksi dalam pembangunan ekonomi domestik dan nasional tetapi sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat manusia seutuhnya.

http://homenet-indonesia.blog.com/2008/2/

19 Feb 2009

Perseorangan Tak Bisa Jadi Calon Presiden

Putusan MK Dinilai Tepat Waktu

Selasa, 17 Februari 2009 | 23:48 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait calon presiden dari jalur perseorangan atau independen. MK menilai, dalam konstruksi yang dibangun dalam UUD 1945, pengusulan pasangan calon presiden merupakan hak konstitusional partai politik.

Dengan putusan itu, calon perseorangan tidak bisa dicalonkan sebagai presiden/wakil presiden. Mereka harus diusung gabungan parpol atau parpol yang memenuhi ketentuan undang-undang.

Terkait dengan putusan MK itu, seorang pemohon uji materi, Fadjroel Rachman, menyatakan akan mendorong perubahan kelima UUD 1945. Ia juga tak akan menghentikan kampanye dirinya sebagai capres independen.

Selasa (17/2), delapan hakim konstitusi membacakan putusan uji materi terhadap Undang- Undang Pemilu Presiden terkait capres independen. Putusan itu diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga hakim, yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar. Mereka berpendapat MK semestinya membuka peluang capres dari jalur perseorangan.

Dalam pertimbangan, MK menyitir Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan calon presiden/wapres diajukan parpol atau gabungan parpol sebelum pemilu. Aturan itu tegas bermakna, hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden/wapres. Tak ada penafsiran lain.

Selain itu, wacana capres independen pernah muncul dalam pembicaraan perubahan UUD 1945, tetapi tidak disetujui MPR.

Jika Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan lain dan lebih luas sehingga menampung capres dan cawapres perseorangan, menurut MK, itu adalah perubahan makna dari yang dimaksud MPR. Artinya, MK melakukan perubahan UUD 1945. Hal itu bertentangan dengan kewenangan MK.

Pendapat berbeda

Sebaliknya, Mukthie Fadjar menilai, siapa pun warga negara yang memenuhi ketentuan Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945 harus mendapat akses yang sama untuk menjadi capres dan cawapres. Pasal itu menyebutkan persyaratan utama capres/cawapres, yakni warga negara Indonesia sejak kelahirannya, tak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas.

Menurut dia, Pasal 6A UUD 1945 hanya mengatur cara atau prosedur pencalonan. Prosedur semestinya tak boleh mengalahkan persyaratan. ”Parpol atau gabungan parpol hanyalah ’kendaraan’ atau ’tempat pemberangkatan’ (embarkasi) bagi calon yang seharusnya tidak mutlak dipakai atau dilalui,” ujarnya.

Maruarar dan Akil berpendapat, ketentuan Pasal 1 Angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wapres merupakan conditionally unconstitutional. Pasal itu tak konstitusional kalau ditafsirkan menutup jalur pencalonan dari perorangan selain pengusulan parpol.

Namun, keduanya sependapat, jika hal itu diputus MK, putusan itu membutuhkan pengaturan tentang prosedur calon perseorangan sehingga tidak rasional jika diberlakukan pada Pemilu 2009. Mereka menyatakan, harus ada waktu penyesuaian sampai pemilu berikutnya, tahun 2014.

Fadjroel sangat mengapresiasi pendapat ketiga hakim konstitusi itu. Dengan berbekal pendapat itu, ia akan mendorong dilaksanakannya perubahan kelima UUD 1945.

Tidak demokratis

Secara terpisah, guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bachtiar Effendi, di Jakarta, Selasa, menilai, putusan MK yang menolak uji materi terhadap UU No 42/2008 itu tidak demokratis, tetapi tepat waktu dan terbaik untuk saat ini. Pasalnya, setiap warga negara pada prinsipnya tidak boleh dihalangi untuk ikut memperebutkan jabatan publik sekalipun hambatan itu dilakukan melalui UU.

”Namun, karena waktu pelaksanaan pemilu presiden sangat dekat, tak fair rasanya jika calon independen yang akan ikut harus mengumpulkan dukungan pada waktu yang singkat,” ujarnya.

Namun, Bachtiar juga mengingatkan, jika calon independen diperbolehkan, harus ada ketentuan yang mengatur agar capres itu mempunyai dukungan yang sama besar dengan capres dari parpol. ”Repot juga jika semua orang yang merasa mampu jadi presiden bisa mencalonkan diri tanpa ada ketentuan besaran dukungan minimal,” ujarnya.

Bachtiar berharap, setelah pemilu legislatif dan presiden tahun ini, Indonesia perlu melakukan perubahan UUD 1945 agar setiap warga negara dimungkinkan merebut jabatan publik, termasuk menjadi presiden.

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto juga menghormati putusan itu. Hanura siap bekerja keras dan berkoalisi dengan partai lain setelah pemilu legislatif.

Anggota DPR dari Partai Golkar, Yuddy Chrisnandi, mengaku sudah menduga putusan MK akan seperti itu karena UUD memang mengharuskan capres/cawapres melalui parpol. Secara teknis, keterlibatan capres independen tak mungkin dilakukan dalam waktu sangat dekat ini.

Yuddy juga sependapat, gerakan prodemokrasi perlu menghimpun dukungan rakyat seluas- luasnya untuk mengamandemen UUD 1945 sehingga capres independen bisa tampil pada Pemilu Presiden 2014.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta menyatakan, keputusan MK yang menolak permohonan pengajuan capres independen itu sudah sejalan dengan konstitusi. ”Memang itulah semangat UUD 1945 karena sistem pemerintahan kita sistem presidensial. Namun, karena banyak kewenangan presiden yang butuh dukungan DPR, pasangan calon presiden dan wapres harus memiliki minimal dukungan awal dalam pemilu,” ujar Andi, Selasa di Jakarta.

Menurut Andi, jika capres dan cawapres independen disetujui MK, UUD 1945 sebaiknya diubah terlebih dahulu. ”Saat pembahasan amandemen UUD 1945, sebenarnya usulan capres dan cawapres independen sudah diusulkan dan dibicarakan. Namun, usulan itu ditolak. Alasannya, sistem politik kita bukan individual,” katanya.

Andi juga berkeyakinan, putusan MK terkait syarat pencalonan presiden/wapres, Rabu ini, tidak berbeda dengan keputusan soal UU. (ANA/HAR/SUT/DWA/MAM)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/17/23485553/perseorangan.tak.bisa.jadi.calon.presiden

Wartawan Ditemukan Tewas Mengenaskan


KOMPAS
Selasa, 17 Februari 2009 | 01:02 WIB

Keluarga Mencari Korban Sejak Rabu Pekan Lalu

Denpasar, Kompas - Wartawan Radar Bali, Anak Agung Prabangsa (45), Senin (16/2), ditemukan tewas mengambang di Pantai Bias Tugel, Desa Padang Bai, Karangasem, Bali. Saat ditemukan nelayan, kondisi korban sangat mengenaskan.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Bali Komisaris Besar Gde Sugianyar menyatakan, polisi belum menyimpulkan apa pun, termasuk penyebab kematian korban serta ada tidaknya kaitan kasus ini dengan aktivitas Prabangsa sebagai redaktur berita-berita daerah (kabupaten) harian Radar Bali (grup Jawa Pos).

”Informasi yang kami terima masih sangat minim. Sembari menunggu hasil visum et repertum dari tim dokter Sanglah, kami akan melakukan penyelidikan seoptimal mungkin berdasarkan keterangan yang diperoleh di lapangan,” kata Sugianyar, saat ditemui di kompleks Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah.

Informasi mengenai tewasnya Prabangsa mendapat perhatian jurnalis di Bali, khususnya Denpasar. Mereka berkumpul di halaman kompleks kamar jenazah RSUP Sanglah guna menunggu hasil otopsi Prabangsa.

Sekelompok nelayan

Menurut Sugianyar, jasad Prabangsa ditemukan sekelompok nelayan di Bias Tugel, 400 meter arah barat Pelabuhan Padang Bai, pukul 09.40 Wita. Penemuan itu selanjutnya diinformasikan kepada pihak Administrator Pelabuhan Padang Bai, yang langsung berkoordinasi dengan aparat Polair Polda Bali untuk evakuasi.

Selang setengah jam, jasad korban bisa diangkat, diangkut ke puskesmas terdekat, dan akhirnya dibawa ke RSUD Amlapura, Klungkung.

”Ketika ditemukan, Prabangsa tidak mengenakan baju. Identitasnya diketahui dari KTP dan SIM A serta C yang ditemukan di saku celananya,” tambah Sugianyar.

Menurut Direktur Radar Bali Justin Maurits Herman, Prabangsa sudah tidak masuk kerja sejak Rabu pekan lalu. Keesokan harinya, keluarga Prabangsa di Denpasar mengonfirmasikan bahwa dia tidak pulang ke rumahnya di Jalan Nusa Kambangan sejak Rabu.

”Keluarga dan pihak manajemen Radar Bali langsung melaporkan kehilangan Prabangsa ke Poltabes Denpasar,” ujar Justin.

Di luar kebiasaan

Menghilangnya Prabangsa, menurut Justin, sangat di luar kebiasaan. ”Biasanya dia memberi tahu rekan kantor atau istrinya jika berencana pergi ke suatu tempat. Sepanjang Rabu, saya dan dia hanya sekali berhubungan via telepon, sekitar pukul 15.00. Jawabannya pun singkat. Lalu, sesudah itu tidak dapat dihubungi lagi,” kata Justin.

Dari pengakuan adik tirinya, Agung Samudera, Rabu siang itu Prabangsa pulang ke rumah orangtuanya di Taman Bali, Bangli. Bahkan, dia menyempatkan diri mengunjungi rumah salah satu kerabatnya yang mengadakan upacara adat.

”Menjelang pukul 15.00 Wita, Prabangsa mendapat telepon. Beberapa saat kemudian dia pergi dengan terlebih dulu menitipkan sepeda motor dan helm di rumah orangtuanya,” ujarnya.

Justin menganalisis, tidak ada masalah berarti dengan aktivitas Prabangsa sebagai redaktur selama enam tahun terakhir. Ia menilai, anak buahnya itu wartawan andal. Justin berharap polisi mampu mengungkap kasus ini dalam waktu dekat. (BEN)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/17/23485553/perseorangan.tak.bisa.jadi.calon.presiden

Wartawan Radar Bali Tewas di Pantai

KORAN TEMPO
Selasa, 17 Februari 2009

Kepala pecah, lidah terjulur, telinga kiri robek, dada dan leher lebam, bola mata hilang.

DENPASAR - Anak Agung Prabangsa, 41 tahun, wartawan harian Radar Bali ditemukan tewas mengambang di Pantai Bias Tugel, Desa Padangbai, Karangasem, Bali, kemarin.

Kepala Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Karangasem Ajun Komisaris Syamsul Hayat mengatakan korban ditemukan pukul 09.40 Wita oleh kapten kapal Perdana Nusantara, lantas dilaporkan ke Administrasi Pelabuhan Padangbai.

Mayat dibawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat Manggis dan Rumah Sakit Umum Amlapura, kemudian ke Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Menurut Syamsul, jenazah ditemukan dalam kondisi bengkak, kepala pecah, lidah terjulur, telinga kiri robek, dada dan leher lebam, serta bola mata hilang.

Jenazah memakai celana panjang cokelat tanpa baju. Ditemukan juga kartu identitas, yakni SIM A, C, dan KTP. "Dugaan kematian masih dalam penyelidikan," katanya.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Bali Komisaris Besar Gde Sugianyar Dwi Putra belum bisa memastikan bahwa itu tanda kekerasan. "Kami akan mengungkap penyebab kematiannya dari hasil otopsi," kata Sugianyar.

Prabangsa, yang sehari-hari bekerja sebagai Redaktur Daerah Radar Bali, dilaporkan hilang pada Rabu pekan lalu. Direkrut Radar Bali Justin M. Herman mengatakan kepergian almarhum tidak diketahui teman-temannya di kantor.

Dia mengaku belum melihat adanya indikasi permasalahan Prabangsa, baik yang terkait dengan pemberitaan, narasumber, maupun hubungan dengan rekan sekantor.

Justin mengenal Prabangsa sebagai pekerja keras, berdisiplin, dan selalu melaporkan apa pun yang dilakukannya. Kepergian Prabangsa, yang tidak masuk kantor tanpa pemberitahuan pada Rabu malam lalu, "Merupakan hal yang tidak biasa dilakukannya," kata Justin.

Justin sempat berkomunikasi dengan Prabangsa pada Rabu sekitar pukul 11.00 Wita. Sekitar pukul 15.00 Prabangsa juga sempat melakukan kontak telepon dengan rekannya sesama redaktur. Namun, setelah itu telepon selulernya tidak bisa dihubungi.

Prabangsa telah bertugas di Radar Bali selama tujuh tahun 10 bulan. "Penyebab meninggalnya Prabangsa masih misterius. Kami meminta polisi mengusut tuntas," ujarnya.

Adik tiri Prabangsa, Anak Agung Samudera, mengatakan kakaknya itu meninggalkan rumahnya di Jalan Nusa Kambangan Nomor 200, Denpasar, pada Rabu pagi.

Sepeda motornya dititipkan pada Rabu siang di rumah orang tuanya di Banjar Taman Bali, Bangli. Almarhum sempat menerima telepon dari seseorang, lalu keluar rumah berjalan kaki tanpa memberi tahu keluarga. "Dia pergi membawa HP," kata Samudera.

Setahu Samudera, Prabangsa tidak pernah bercerita tentang apakah dirinya memiliki persoalan dengan seseorang. "Kami tidak memiliki firasat apa pun," ujarnya.

Prabangsa meninggalkan seorang istri, Sagung Mas Prihantini, dan dua orang anak yang duduk di kelas II sekolah menengah pertama dan sekolah dasar. Keluarga sepakat jenazah Prabangsa diotopsi. Almarhum akan dimakamkan di kampung halamannya, Banjar Pande, Bangli. NI LUH ARIE SL | ALI ANWAR

Rezim Kerahasiaan Pemilu 2009


Agus Sudibyo
DEPUTI DIREKTUR YAYASAN SET JAKARTA

Iklan politik menjadi primadona bagi para kontestan pemilihan umum untuk menjaring preferensi publik. Riset Nielsen menunjukkan, dana iklan politik tahun 2008 mencapai Rp 2,208 triliun (baca: Rp 2 triliun 208 miliar), meningkat 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai Rp 1,327 triliun. Angka yang sesungguhnya pasti lebih besar karena riset ini belum menghitung belanja iklan politik untuk media radio, Internet, serta media luar ruang. Dana iklan politik juga masih akan menggelembung karena, menjelang pemilu legislatif April 2009, dapat dipastikan iklan politik semakin gencar menyapa publik.

Namun, gegap-gempita iklan politik selalu meninggalkan persoalan kompleks. Bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya? Publik tidak pernah tahu secara persis besaran dana iklan politik itu, dari mana asalnya, siapa saja donaturnya, dibelanjakan untuk apa saja, serta bagaimana konsekuensinya terhadap kinerja pemerintahan yang baru nanti.

Transparansi
Partai politik, para calon legislator, dan kandidat presiden tidak mempunyai tradisi, juga tidak dikondisikan untuk secara terbuka menjelaskan ihwal dana politik yang mereka gunakan. Publik tidak mengetahui apakah kampanye politik benar-benar steril dari penyalahgunaan anggaran publik APBN/APBD, dana departemen, dana dekonsentrasi, dan seterusnya. Publik juga tidak akan tahu seandainya, di balik gebyar iklan pemilu di media, beroperasi dana dari para pengusaha hitam, pejabat bermasalah, atau dana hasil money laundering.

Aturan main pemilu sangat tidak memadai dalam mengantisipasi masalah ini. Menurut Undang-Undang Pemilu, hanya biaya kampanye partai politik yang harus dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum. Tidak jelas bagaimana transparansi dana sumbangan dari para simpatisan. Undang-Undang Pemilu juga hanya menyatakan "dana kampanye dapat berasal dari sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum dan dibatasi besarannya" (pasal 138). Tanpa penjabaran lebih operasional, tentu klausul semacam ini mudah dilanggar atau diinterpretasikan secara berbeda.

Potensi pelanggaran juga cukup besar ketika UU Pemilu menjelaskan: "materi kampanye meliputi visi, misi, dan program" (pasal 94). Padahal kampanye pemilu lazim dilakukan dengan materi apa saja: slogan, warna khas partai, profiling tokoh partai berikut prestasi-prestasinya, dan lain-lain. Ruang lingkup kampanye yang tidak komprehensif mempermudah manipulasi dan merebaknya iklan-iklan terselubung. Di sini mungkin beroperasi dana-dana politik "liar". Sementara itu, transparansi dana kampanye hanya diwajibkan kepada partai politik, dan tidak eksplisit diwajibkan kepada pihak media dan biro iklan yang berurusan langsung dengan pemasang iklan.

Persoalannya jelas, tidak ada yang gratis dalam politik! Determinasi politik uang terhadap independensi pemerintahan dan legislatif yang baru menjadi keniscayaan. Ironisnya, publik tidak mempunyai basis informasi yang cukup untuk mengantisipasi masalah ini. Sejauh terkait dengan dana politik, semuanya serba gelap bagi publik. Pemilu seperti berlangsung dalam rezim kerahasiaan.

Kinerja KPU


Bayang-bayang rezim kerahasiaan juga tecermin dari kinerja KPU dalam menyiapkan pemilu. Perumusan peraturan-peraturan KPU tidak melibatkan unsur publik secara memadai. KPU terkesan merahasiakan proses tersebut dari pengetahuan publik. Tidak jelas pula kapan dan melalui medium apa peraturan-peraturan KPU diumumkan ke publik. Manajemen logistik pemilu yang menyerap dana publik sangat besar dan secara langsung mempengaruhi persiapan pemilu juga diragukan akuntabilitasnya. Apakah proses tender logistik pemilu dilakukan secara fair, apakah audit aset dilakukan terhadap peserta tender, apakah para pemenang tender cukup kapabel dan tidak mempunyai konflik kepentingan? Publik tidak mempunyai akses yang memadai untuk mengetahui hal-hal ini.

Membuka diri dan memberikan informasi kepada publik belum menjadi bagian integral dari kerja KPU. Pada 2008, publik dihadapkan pada simpang-siur informasi tentang hasil verifikasi administratif partai politik peserta pemilu dan daftar calon sementara anggota legislatif. KPU di sini cenderung reluctant terhadap akses informasi dari masyarakat. Permintaan informasi dianggap merepotkan, kritik dilihat sebagai cermin ketidaksukaan. Upaya pers menggali informasi tentang persiapan pemilu dianggap sebagai gangguan. Cukup bisa dipahami jika kemudian sejumlah wartawan melaporkan KPU ke Dewan Pers karena menghambat akses media untuk mendapatkan informasi.

Pemilu semakin dekat, ada beberapa perubahan dalam pelaksanaannya. Namun, sedikit penjelasan yang sampai ke kalangan bawah. Survei nasional Indo Barometer Desember 2008 menunjukkan, hanya 51,8 pemilih yang mengetahui pemilu legislatif dilaksanakan pada April 2009. Sebanyak 61,3 pemilih cenderung membayangkan pemilu akan dilakukan dengan mencoblos, bukan mencentang. Ada potensi 60 persen suara tidak sah, karena 60 persen responden tidak tahu bahwa mencentang gambar partai dan nama calon legislator sekaligus adalah tidak sah.

Diseminasi informasi secara signifikan menentukan sukses pemilu. Masyarakat membutuhkan pemahaman yang cukup tentang tahap-tahap, problem, dan perubahan sistem pemilu. Persoalannya, hal ini tidak diimbangi dengan kesigapan KPU untuk menyediakan sistem pelayanan dan penyebaran informasi yang terbuka, efektif, dan cepat. Jika banyak anggota masyarakat masih buta informasi ketika pemilu semakin dekat, cukup meragukan pemilu akan terselenggara secara berkualitas, terbuka, jujur, dan adil.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/17/Opini/krn.20090217.157048.id.html

Degradasi Kebebasan Pers


KOMPAS
Senin, 12 Januari 2009 00:38 WIB

Agus Sudibyo

Profesi wartawan, yang seharusnya mendapat perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip universal kebebasan pers, masih menjadi profesi yang rawan di Indonesia.

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan, kekerasan terhadap wartawan masih mendominasi kehidupan media pada tahun 2008. Sepanjang tahun 2008, terjadi 60 kasus kekerasan terhadap wartawan yang bentuknya berupa serangan fisik, ancaman, pengusiran, sensor, dan penyanderaan.

Catatan Akhir Tahun LBH Pers melengkapi gambaran kelam itu. Sepanjang tahun 2008, terjadi 32 kasus gugatan hukum terhadap pers yang terdiri atas 18 kasus sengketa perburuhan pers, 11 perkara pidana, 2 perkara perdata, dan 1 perkara tata usaha negara.

Data-data ini menjelaskan mengapa selama lima tahun terakhir indeks kebebasan pers Indonesia terus merosot, setelah tercatat dalam deretan negara paling berhasil dalam pelembagaan kebebasan pers pada awal reformasi. Laporan Reporters Sans Frontiers menunjukkan, Indonesia kini menempati urutan ke-111 dalam peringkat indeks persepsi kebebasan pers sedunia, yang dipercaya publik internasional sebagai tolok ukur demokrasi suatu negara.

Kelemahan UU Pers

Maraknya kekerasan dan kriminalisasi terhadap pers menunjukkan UU Pers belum efektif memberi perlindungan hukum terhadap kerja-kerja jurnalistik. UU Pers telah mengakui hak media untuk mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi, tetapi belum secara tegas mengatur sanksi untuk berbagai jenis kekerasan terhadap wartawan atau institusi media sebagaimana sering terjadi.

UU Pers juga bukan satu-satunya produk hukum yang menentukan dinamika kehidupan pers pascareformasi. Dalam KUHP, misalnya, masih ada 20 pasal yang mengatur ketentuan hukum tentang rahasia jabatan, rahasia pertahanan negara, dan rahasia dagang. Dalam UU Perbankan, UU Rahasia Dagang, UU Kearsipan, serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik juga secara general diatur informasi-informasi rahasia atau yang dilarang disebarluaskan dengan berbagai alasan.

Berbagai pihak yang bermasalah dengan pers: entah pejabat, pengusaha hitam, pelaku pelanggaran HAM, preman, atau pengacara, tak segan-segan menghalalkan tindakan kekerasan atau premanisme terhadap wartawan karena memahami benar kelemahan UU Pers itu. Situasi menjadi semakin problematis manakala para penegak hukum juga menegasikan kedudukan UU Pers dalam menyelesaikan aneka sengketa pemberitaan media.

Hampir semua proses penyelesaian kasus hukum pemberitaan media merujuk pada KUHP atau KUH Perdata. Pihak-pihak yang bermasalah dengan pers hanya berpikir bagaimana agar nama baik mereka terehabilitasi, tanpa peduli cara yang mereka tempuh merugikan kepentingan publik yang lebih besar. Penegak hukum juga hanya berpikir bagaimana sengketa-sengketa pemberitaan pers segera selesai, tanpa peduli prosedur yang mereka tempuh melecehkan UU Pers dan kedudukan Dewan Pers.

Krisis legitimasi

Setali tiga uang, pemerintah juga cenderung melihat pers dari sisi partikular pihak yang selalu menjadi sasaran kritik media, bukan dari posisi perancang dan pelaksana kebijakan. Politik kebijakan pemerintah di bidang media, sebagaimana tecermin dalam rencana amandemen UU Pers, tidak didasarkan pada imperatif untuk menciptakan ruang publik deliberatif, tetapi didasarkan pada rasionalitas strategis untuk mengarahkan praktik bermedia sedemikian rupa kondusif bagi kepentingan penguasa.

Saat wartawan dibiarkan menjadi obyek premanisme, ketika kriminalisasi media atas nama kepentingan privat terus terjadi, ketika pemerintah terus berusaha mengontrol kehidupan pers, kita seperti kehilangan jejak idealisasi fungsi media. Untuk apa sebenarnya media hadir di tengah masyarakat? Jelas bukan hanya untuk kepentingan profit-making atau untuk mendukung establishment kekuasaan.

Media pertama-tama adalah institusi sosial yang berfungsi menjalankan alarm sosial: memberi sinyal kepada masyarakat akan terjadinya berbagai penyimpangan (korupsi, penggelapan pajak, pelanggaran HAM, dan lainnya). Media terutama adalah perangkat masyarakat untuk mengontrol proses penyelenggaraan kekuasaan. Maka, melemahkan institusi media sama artinya dengan melemahkan hak publik atas informasi dan komunikasi yang deliberatif, hak politik warga negara untuk mengontrol pemerintahan. Jika wartawan dipenjarakan atau kehilangan keberanian dalam menyajikan fakta, yang rugi bukan hanya si wartawan, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada diskursus kritis media.

Partikularitas posisi yang diambil berbagai pihak memburamkan jejak-jejak ”ontologis” kedudukan media dalam suatu masyarakat. Namun, krisis ini sebagian juga bersumber pada rendahnya tanggung jawab profesi kalangan media sendiri. Praktik jurnalistik yang kurang profesional dan mengesampingkan etika telah mendangkalkan ruang publik media dengan hal-hal yang bombastis, artifisial, atau spekulatif. Krisis terjadi bukan hanya saat wartawan dibiarkan dikasari dan media dibiarkan dikriminalisasi, tetapi juga ketika lewat berbagai tayangan infotainment di televisi, informasi tereduksi menjadi sekadar gosip, ruang publik media menyusut menjadi ruang desas-desus, rumor, pamer privasi selebriti yang tidak jelas relevansinya bagi publik.

Satu lagi yang patut dipikirkan, apakah masyarakat, khususnya unsur-unsur civil society yang selama ini ”berutang budi” terhadap diskursus kritis media, juga peduli terhadap tren degradasi kebebasan pers di negeri ini? Degradasi kebebasan pers mungkin dikondisikan oleh sikap tak peduli civil society sendiri terhadap dinamika kehidupan media yang bahkan setiap hari mereka rasakan manfaatnya.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/12/00383025/degradasi.kebebasan.pers


10 Feb 2009

Mengapa Banyak Koran Baru

JAWA POS, Senin, 9 Februari 2009

Di zaman bikin surat kabar atau majalah tidak perlu izin apa pun seperti sekarang ini, apa sajakah motif seseorang menerbitkan surat kabar atau majalah? Coba kita inventarisasi kemungkinan-kemungkinan motif di baliknya:

1. Idealisme (menegakkan keadilan, kebenaran, membela si lemah, menyuarakan kepentingan umum, menegakkan demokrasi, dan sebagainya).

2. Bisnis (mengharapkan bisa menjadi lembaga bisnis, kecil maupun besar).

3. Politik (sebagai alat membela dan memperjuangkan aliran politik).

4. Agama (untuk menyiarkan ajaran agama).

5. Kepentingan sesaat (ingin dekat penguasa atau ingin jadi penguasa, mulai bupati/wali kota, gubernur, dan seterusnya).

6. Coba-coba.

7. Digoda/''dihasut'' orang lain (terutama oleh para mantan wartawan).

8. Menyalurkan hobi.

9. Belum ada pekerjaan lain (umumnya dilakukan oleh anak orang kaya yang baru pulang sekolah dari luar negeri).

10. Ngobyek (untuk mencari penghidupan kecil-kecilan dengan asumsi akan ada saja orang yang takut kepada pers dan karena itu bisa diminta/diperas uangnya. Termasuk di kelompok ini adalah pers sebagai alat untuk mencari proyek).

Mungkin masih ada motif yang lain, namun mungkin hanya gabungan di antara yang 10 itu. Misalnya, gabungan antara idealisme dengan bisnis. Secara idealisme tercapai, secara bisnis juga amat menguntungkan. Atau idealisme dengan pemerasan. Idealisme penerbitnya adalah memberantas korupsi di muka bumi Indonesia, jalan yang ditempuh adalah memeras para koruptor.

Tapi kalau saya amati, sumber terbesar yang menyebabkan munculnya banyak sekali surat kabar atau majalah baru adalah kalangan wartawan. Kira-kira bisa kita kelompokkan seperti ini:

1. Wartawan idealis. Yakni wartawan yang merasa idealismenya tidak tersalurkan di surat kabar tempatnya bekerja. Dia atau mereka merasa policy surat kabar/majalah tempatnya bekerja terlalu komersial yang lebih mementingkan aspek bisnis. Atau pemilik surat kabar/majalah sering memanfaatkan korannya untuk mencari obyekan bisnis atau jabatan politik untuk keuntungan pribadi sang pemilik. Wartawan jenis ini, setelah merasa mendapat nama kemudian memilih keluar, menjadi investor atau mencari investor untuk mendirikan media baru.

2. Wartawan yang merasa sudah pintar. Wartawan jenis ini merasa dirinya sudah sangat pintar melebihi si pemilik media tempatnya bekerja, atau melebihi pemimpin redaksinya. Dia merasa dirinya hebat sekali. Lalu merasa sudah semestinya menjadi pemimpin. Mereka lalu mencari-cari investor.

3. Wartawan yang tidak puas karena sistem kerja dan sistem penggajian di tempat asalnya. Di antara mereka ada yang memang benar-benar diperlakukan tidak adil oleh perusahaannya. Tapi, ada juga yang sebenarnya dia sendiri saja yang merasa diperlakukan tidak adil. Tipe wartawan seperti ini umumnya berusaha pindah dulu ke media lain, tapi tidak jarang juga (karena media lain sudah penuh), langsung mencari investor untuk membuat media baru.

4. Wartawan ingin maju. Yakni wartawan yang benar-benar memang ingin maju, dan merasa dirinya mampu. Lalu, setelah mendapat pengalaman cukup di tempatnya bekerja, dia mencoba membuat media sendiri.

5. Wartawan yang pensiun. Setelah lama jadi wartawan, lalu pensiun, maka rasa rindunya akan dunia pers tidak akan tertanggungkan. Mereka ini juga merasa sangat mampu dan terutama merasa sangat berpengalaman. Mereka ini umumnya juga lantas mencari investor dengan mengandalkan pengalamannya itu.

6. Wartawan yang di-PHK. Mereka ini jumlahnya tidak sedikit dan keinginannya untuk tetap bekerja di pers sangat besar. Maka mereka pun akan cari investor untuk membuat media sendiri.

7. Calon wartawan yang sudah magang di media dan kemudian tidak bisa bekerja di media itu. Lalu mencari investor juga.

8. Wartawan percobaan, yakni mereka yang mula-mula direkrut oleh sebuah media, tapi kemudian tidak lulus masa percobaan terakhir. Mereka ini telanjur merasa jadi wartawan dan merasa menjadi orang pers. Maka mereka ini juga bisa cari investor.

Jadi, kalau selama ini banyak orang pers yang ngedumel mengapa begitu banyak orang yang tidak tahu pers tiba-tiba masuk ke bisnis pers, sebenarnya banyak di antara mereka sendiri mulanya tidak ada minat masuk ke pers sama sekali. Mereka umumnya ''hanya'' sumber berita yang pernah dikenal si wartawan, kemudian diincar untuk jadi investor.

Tentu si investor sendiri sebenarnya lebih banyak menjadi ''korban'' rayuan atau ''hasutan'' para wartawan di atas. Tentu ada juga beberapa di antaranya yang akhirnya menikmati sebutan sebagai orang pers atau raja pers. Bahkan, anak istri mereka yang semula tidak ada yang tahu apa itu pers, tiba-tiba menjadi pemimpin umum atau pemimpin redaksi.

Mengapa banyak investor yang berhasil dirayu atau ''dihasut'' oleh para wartawan atau mantan wartawan?

1. Umumnya mereka tidak tahu sama sekali realitas dunia pers. Mereka umumnya hanya pembaca koran yang di dalam benaknya sering mengagumi orang koran.

2. Mereka punya uang atau punya aset (kantor/gedung/mesin/komputer) yang bisa dimanfaatkan sehingga kelihatannya hanya memanfaatkan aset yang sudah ada.

3. Mereka umumnya merasa punya network yang akan bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan koran/majalahnya.

4. Mereka umumnya mengerti manajemen sehingga merasa kemampuan manajemennya akan cukup untuk mengatasi manajemen koran/majalah.

5. Mereka umumnya hanya merasa lemah di redaksional dan kini bagian yang lemah itu sudah diisi oleh orang yang merayunya.

6. Mereka tergiur oleh rayuan/"hasutan" dari para wartawan itu karena biasanya si wartawan membawa alasan yang sangat menarik.

Alasan apa saja yang dipakai wartawan untuk merayu investor?

1. Koran/majalah adalah bisnis yang menarik, bisa untung secara cepat, bisa membuat investor terkenal, gengsi investor naik dan akan bisa dekat dengan orang-orang penting (tidak jarang si investor kemudian memang minta tolong si wartawan untuk mendekati pihak-pihak yang diincar).

2. Akan mudah mencari pelanggan karena isinya akan dibuat sedemikian rupa menariknya (umumnya disertai dengan penilaian si wartawan akan jeleknya mutu jurnalistik koran-koran yang ada, terutama di tempatnya bekerja dulu).

3. Akan mudah mencari iklan, karena iklan ini sangat menggiurkan. Lalu menyebut berapa penghasilan iklan koran seperti Kompas atau Jawa Pos. Si investor pun mulai mabuk dan membayangkan akan bisa mendapatkan sebagian dari kue besar itu.

4. Perayu berjanji kerja sekeras-kerasnya. Mereka ini ada yang dulu memang pekerja keras, tapi ada juga yang dulu pun tidak pernah mau bekerja keras.

5. Kalau si wartawan dulu bekerja di koran yang maju, dia akan mengatakan kepada investor bahwa dialah yang membuat koran itu dulu maju.

6. Kalau si wartawan dari koran yang tidak maju, dia akan mengatakan kepada investor bahwa manajemennya tidak bagus dan selalu menolak ide-ide yang diperjuangkannya.

7. Biasanya juga menawarkan tim yang sudah jadi dan dipromosikan sebagai tim yang kuat dan andal. Kalau tim itu dibentuk dari koran yang akan disaingi, akan disebutkanlah bahwa ''kita'' akan gampang merebut pasarnya karena tim andalannya sudah hilang.

Banyaknya koran/majalah baru dalam kurun sembilan tahun terakhir ini adalah satu kenyataan yang sah. Namun, banyaknya koran/majalah baru tersebut juga akan membuat semakin banyak eks-wartawan. Artinya, juga akan semakin banyak memproduksi para perayu ulung. Dan akhirnya masih akan banyak sekali investor yang diincar. Memang banyak sekali investor yang sudah mulai ''insaf'', tapi masih akan lebih banyak lagi investor yang menyediakan diri untuk ''tergoda''.

Sebagai ketua umum SPS atau Serikat Penerbit Surat Kabar (Majalah) yang baru saja terpilih, saya lagi mikir-mikir: apakah apa pun motif surat kabar/majalah itu didirikan semua harus dibina? Mulai kongres yang akan datang, pemilik suara di kongres tidak lagi hanya pengurus cabang-cabang SPS. Pemilik suara di kongres adalah para penerbit itu semua! Dengan demikian, kongres SPS yang akan datang akan sangat seru! Pertengahan tahun ini SPS mengadakan jambore atau konvensi penerbit. Kalau seluruh penerbit, apa pun motifnya, hadir di jambore itu, begitu pulalah gambarannya Kongres SPS yang akan datang! (Dahlan Iskan)

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=51307

Wartawan Perjuangan yang Murni dalam Lima Tahun


JAWA POS, Senin, 09 Februari 2009

Catatan Hari Pers Nasional oleh Dahlan Iskan

PEMBACA koran naik drastis di Amerika Serikat, tapi pembeli koran turun drastis. Demikian juga ''pemirsa laptop'' naik drastis dan pemirsa tv turun drastis. Untuk kali pertama dalam sejarah media, pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 AS pada 21 Januari lalu lebih banyak ditonton lewat laptop daripada lewat pesawat televisi.

Naiknya pembaca koran lewat internet dan meningkatnya pemirsa laptop untuk peristiwa besar telah menyusutkan pendapatan iklan kedua jenis media itu. Belum ada usul bagaimana mengatasi ancaman terhadap televisi itu, tapi mulai ada wacana agar perusahaan koran yang mengalami kesulitan keuangan akibat krisis global ini juga di-bailout oleh pemerintah AS. Apalagi, di AS amat terkenal kredo ''lebih baik tidak ada pemerintah daripada tidak ada koran". Kalau perusahaan mobil saja di-bailout, mengapa pilar demokrasi ini tidak.

Perkembangan lain, TV lokal di AS kini mulai bisa mengalahkan jaringan nasional-khususnya untuk tv berita. Ini karena berita yang nasional-nasional akan menjadi garapan empuk jaringan internet yang dengan lebih mudah ditonton di laptop. Sedangkan naiknya pembaca koran secara elektronik menimbulkan kesulitan besar: pembaca membayar bukan kepada perusahaan koran, melainkan ke provider internet.

Perusahaan koran belum menemukan cara yang memadai untuk mendapatkan penghasilan dari hasil perubahan cara baca itu. Memang berita koran-terutama dari koran yang reputasinya baik-lebih dipercaya daripada sumber yang bukan dari koran, tapi tetap saja pengguna internet telanjur terbiasa sejak awal dulu bahwa sesuatu yang di internet itu gratis. Padahal, untuk mendapatkan kepercayaan bahwa ''berita koran itu lebih bisa dipercaya" memerlukan biaya. Kelak, kalau semua pembaca koran tidak mau membayar ongkos untuk melahirkan ''berita koran lebih dipercaya" itu? Dari sinilah awalnya mengapa ada wacana bailout untuk surat kabar. Bahkan, sudah ada yang mewacanakan bahwa surat kabar itu kelak dianggap saja sama dengan rumah sakit atau universitas: universitasnya demokrasi dan rumah sakitnya demokrasi. Atau, mungkin mirip rumah sakit yang sekaligus teaching university. Koran bisa seperti RS Tjiptomangunkusumo atau RS dr Sutomo.

Belum ditemukannya bagaimana cara ''membayar" itu antara lain karena selama ini memang tidak pernah dipikirkan. Kalau toh terpikirkan, barulah yang caranya juga tradisional: siapa yang mengakses koran harus berlangganan. Ini tidak efektif karena psikologi isi internet itu gratis. Baru sekarang ini, sekarang ini, bingung. Yakni, setelah terjadi krisis finansial global yang ternyata juga melanda perusahaan surat kabar AS.

Grup surat kabar terkemuka di dunia Chicago Tribune sudah menyatakan bangkrut. Bisa dibayangkan nasib koran yang lebih lemah. The New York Times yang begitu hebat, sedang di ambang jurang yang sama. Utangnya yang hampir jatuh tempo mendekati Rp 40 triliun, sedangkan dana yang siap baru Rp 4 triliun. The New York Times mengalami krisis dana cash yang luar biasa besar.Mengapa selama ini tidak dipikirkan cara yang ampuh untuk menghubungkan agar pemanfaatan isi koran lewat internet itu bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan koran? Jawabnya jelas: perusahaan koran sudah seperti perusahaan pada umumnya: "mabuk" pasar modal.

Perusahaan koran berlomba mengumumkan semakin tingginya angka hit terhadap koran mereka. Kian banyak orang mengklik kian bangga-meski itu mencerminkan semakin dijauhinya koran edisi cetak mereka. Dengan menggalakkan edisi on line, perusahaan koran itu sebenarnya sudah mendorong agar pembaca meninggalkan edisi cetak. Bertahun-tahun dorongan itu dilakukan dan hasilnya sangat ''baik": kian banyak orang yang pindah ke on line. Baik menurut ukuran ekonomi saat itu.

Dengan tingginya angka hit sebuah koran, performance mereka di pasar modal semakin baik. Harga sahamnya pun naik drastis. Kenaikan harga saham setiap tahun inilah yang dikejar. Mengejar kenaikan harga saham melalui peningkatan hit di on line lebih mudah daripada memperbesar sirkulasi surat kabar. Usaha memperbesar sirkulasi koran secara tradisional sangatlah sulit: pelaksananya bukan hanya harus pintar, tapi juga harus bekerja keras. Termasuk bekerja keras mengeluarkan keringat di pasar sejak pukul 03.00. Dari segi pemasaran, perusahaan koran tidak ada bedanya dengan tukang sayur: sudah harus ada di pasar sejak sebelum subuh. Sedangkan meningkatkan ''sirkulasi" koran lewat on line meski juga harus pintar, tapi lebih mudah: bisa dikerjakan di ruang AC dengan tidak harus bercucuran keringat. Kalau bisa meningkatkan harga saham dengan cara mudah, mengapa harus melakukannya dengan cara susah payah? Toh, sistem ekonomi pasar di AS saat itu memungkinkan berkembangnya ekonomi yang tidak perlu riil seperti itu dengan penuh gairah.

Itulah gairah yang ''memabukkan". Maka, ketika tiba-tiba terjadi krisis keuangan dan hal-hal yang tidak riil tidak bisa lagi dijual, bangunan megah itu ternyata seperti rumah-rumahan dari styrofoam: terbang terbawa angin ribut. Ketahuanlah bahwa jumlah pembaca koran yang naik terus itu sebenarnya diikuti dengan turunnya oplah. Iklan pun merosot drastis. Pengguna on line sudah telanjur dibiasakan tidak membayar. Harga saham koran seperti New York Time terjun bebas: kini sudah mendekati kategori junk bond. Di Indonesia belum ada koran raksasa yang mengalami kesulitan-karena selama ini mereka itu sebenarnya memang belum pernah benar-benar jadi raksasa. Belum ada koran raksasa yang terjun ke pasar modal. Baru ada tiga koran yang masuk bursa: TEMPO, Republika dan-melalui induk perusahaannya- Seputar Indonesia. Performa harga saham dua koran pertama tidak pernah tinggi-dan karena itu tidak bisa anjlok.

Sedangkan performa koran ketiga sulit dinilai karena yang masuk bursa bukan koran itu sendiri, melainkan induknya.Boleh dikata, belum ada perusahaan koran di Indonesia yang "mabuk" pasar modal. Sudah ada memang yang baru ingin mau ''mabuk", tapi sudah keburu ada krisis: Jawa Pos. Jawa Pos sudah lama mempersiapkan diri masuk pasar modal, tapi selalu ditunda karena ragu-ragu akibat baik-buruknya.

Koran di Indonesia juga masih punya waktu kira-kira lima tahun untuk menghadapi ancaman on line itu. Mengapa lima tahun? Jawabnya ini: akhir tahun depan pembangunan Palapa Ring tahap pertama selesai. Yakni, penanaman jaringan fiber optic sejauh 3.000 km di banyak kota di Indonesia. Dengan jaringan fiber optic yang demikian luas, koridor untuk on line sangat leluasa. Akses internet akan mengalami percepatan yang menggila. Apalagi, kalau Palapa Ring sudah terbangun sempurna lima tahun lagi. "Jalan tol" di bawah tanah itu akan jauh meninggalkan kelancaran jalan tol yang di atas tanah.

Lima tahun ke depan ini adalah tahap yang amat menentukan bagi koran di Indonesia. Maju atau mati. Karena itu, Hari Pers Nasional yang diperingati hari ini menyisakan pertanyaan besar: bagaimana wartawan bisa tetap hidup bersama korannya. Wartawan akan terus hidup, tapi akankah dia kerja gratisan untuk pembacanya di on line? Jangan-jangan itulah saatnya yang disebut era wartawan perjuangan, yakni wartawan yang berjuang menegakkan keadilan, kebenaran dan demokrasi, membela yang tertindas, membongkar kejahatan termasuk korupsi, dan melakukan kontrol sosial yang kuat-tanpa jelas siapa yang harus memberi gaji setiap bulan. Kalau itu terjadi, itulah baru yang disebut "wartawan perjuangan" yang murni.

*) Selain sebagai Chairman Jawa Pos Group, Dahlan Iskan adalah ketua umum SPS Pusat (Serikat Penerbit Surat Kabar). Catatan ini menyambut Hari Pers Nasional 2009 yang diperingati hari ini.

9 Feb 2009

Anomali Ruang Publik Media

KOMPAS, Senin, 9 Februari 2009

"Ruang publik sebagai potensi demokratis media akan tenggelam saat rasionalitas birokrasi atau rasionalitas modal mendominasi fungsi, sistem kerja, dan orientasi produksi media."

Pernyataan Robert McChesney dalam buku Corporate Media and The Threat to Democracy, Seven Stories Press, The Open Media Pamphlet Series, 1997, itu menjadi titik awal untuk meninjau situasi terkini media di Indonesia.


Reformasi sistem media nasional selama satu dekade terakhir tidak otomatis membuat praktik produksi, orientasi, dan kecenderungan politik media kian didasarkan pada prinsip-prinsip keutamaan publik. Reformasi itu juga belum berujung pada lahirnya ruang publik ideal, yang relatif otonom dari dominasi rasionalitas modal maupun birokrasi, dan mampu menggerakkan diskursus sosial yang berkualitas, deliberatif, dan mempunyai signifikansi bagi nilai kewargaan.

Reformasi sistem media itu belakangan mengalami anomali. Praktik bermedia dan perubahan kebijakan media kian menunjukkan gejala rekolonialisasi ranah media oleh imperatif-imperatif ekonomi atau birokrasi. Terutama pada media penyiaran, subsistem rasionalitas ekonomi pasar dan subsistem administratif negara secara sistemik mendeterminasi hampir semua aspek media: perizinan, permodalan, orientasi produksi, distribusi, dan relasi dengan masyarakat.

Rekomersialisasi

Kebebasan media belum tentu identik dengan kebebasan khalayak untuk mendapatkan informasi berkualitas. Kebebasan itu juga diinterpretasikan sebagai kebebasan mendirikan media. Kini mudah didapat semua media, mulai dari yang menyajikan diskursus sosial-politik hingga yang menggeluti gosip selebriti, cerita gaib, ramalan nasib, atau bisnis ”esek-esek”. Kebebasan media direduksi sebagai kebebasan memproduksi informasi tanpa mempertimbangkan relevansi dan kelayakannya.

Matra komodifikasi tanpa batas tampaknya berlaku di media, terutama televisi, semua hal praktis diperlakukan sebagai komoditas. Tanpa peduli yang esensial maupun yang artifisial, yang sacred maupun profan, semua disajikan berdasarkan psikologi budaya populer. Di layar televisi, wilayah dunia kehidupan, budaya, seni, moralitas, bahkan agama, harus tunduk pada mekanisme pencitraan yang berorientasi pada tampilan serba populer, dramatis, dan sensasional.

Ruang media pertama-tama adalah ruang komersial, bukan ruang publik yang selalu menuntut kelayakan. Namun, rekomersialisasi ruang media ini mendapatkan legitimasi hukum. PP Penyiaran Nomor 49, 50, 51, 52 Tahun 2005 sebagai ketentuan pelaksana UU Penyiaran mengarahkan penyiaran Indonesia menuju sistem yang hampir sepenuhnya komersial. Regulasi kepemilikan media, permodalan, jaringan media, perizinan, dan isi siaran amat berpihak pada kepentingan penyiaran komersial. Tak terlihat lagi orientasi pelembagaan sistem penyiaran yang berpihak pada kepentingan berbasis komunitas atau publik, yang mengakomodasi pengembangan potensi lokal.

Rebirokratisasi

Paket PP Penyiaran itu juga memberi dasar bagi proses rebirokratisasi media penyiaran, dengan meneguhkan kembali kedudukan pemerintah, khususnya Depkominfo sebagai regulator penyiaran. Dengan menegasikan KPI sebagai regulator penyiaran menurut UU Penyiaran No 32/2002, pemerintah membuka jalan bagi dirinya sendiri untuk kembali mengintervensi dunia media.

Tren rebirokratisasi ranah media juga tecermin dalam rencana amandemen UU Pers. Draf RUU Pers pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pers tidak benar-benar bertujuan menciptakan ruang publik media yang demokratis, tetapi lebih berorientasi mengembalikan otoritas pemerintah dalam mengatur segi-segi kehidupan media. Kecenderungan legislasi bidang media mencerminkan politik kontrol dan pembatasan, dengan menghidupkan kembali mekanisme sejenis SIUPP, bredel, dan pengaturan lisensi profesi jurnalistik.

Perubahan regulasi bidang media tidak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menyerahkan urusan publik kepada publik guna mengeliminasi determinasi sistem bisnis dan birokrasi terhadap ruang publik. Perubahan regulasi justru memfasilitasi gerak rebirokratisasi dan rekomersialisasi ruang publik media.

Pada ranah penyiaran, pemerintah dan industri media sama- sama terancam reformasi kebijakan yang secara garis besar hendak menyerahkan kendali regulasi penyiaran kepada publik. Yang terjadi adalah simbiosis mutualisme. Regulasi pemerintah di bawah UU Penyiaran tidak dimaksudkan memperkuat kedudukan publik vis a vis industri media, tetapi untuk menjamin establishment kepentingan bisnis penyiaran.

Sebaliknya, industri penyiaran melegitimasi kedudukan pemerintah sebagai regulator media. Industri televisi nasional tidak melakukan perlawanan saat PP Penyiaran meneguhkan intervensi pemerintah terhadap media penyiaran.


Reorganisasi rasionalitas modal dan rasionalitas birokrasi inilah kendala utama untuk mengembalikan karakter media sebagai institusi sosial saat ini. Praktik bermedia lebih ditentukan matra komodifikasi dan pengendalian, bukan matra pemberdayaan. Jika tren ini terus berlanjut, pembentukan watak kultural masyarakat melalui media kian tidak ditentukan oleh prinsip kewargaan, tetapi reifikasi terhadap sistem ekonomi dan politik yang dominan.

Agus Sudibyo, Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/09/00510848/anomali.ruang.publik.media

4 Feb 2009

Terima Kasih, Dialog Publik tentang Penyiaran Berjalan Lancar










Kami, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, sangat bersyukur karena acara dialog publik bertema “Penegakan Hukum dan Demokratisasi Penyiaran” berlangsung lancar, dinamis, demokratis, dan bersemangat. Inilah kegiatan pertama dalam hampir dua bulan usia Pengurus AJI Malang periode 2008-2011, sejak dibentuk pada 6 Desember 2008.

Acara dialog dikemas sederhana di University Inn, hotel mini kepunyaan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu, 31 Januari 2009, mulai pukul 09.00 hingga 14.00 Wib. Nasrullah, dosen Komunikasi UMM yang juga Dewan Pengurus Jaringan Nasional Pemantau Media, bertindak sebagai moderator.

Peserta berjumlah sekitar 150 orang atau 75 persen dari seluruh jumlah peserta yang ditargetkan. Jumlah ini sudah termasuk peserta tidak mengisi daftar hadir.

Asal peserta beragam, mewakili unsur pemerintah daerah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu), kepolisian (Kepolisian Wilayah Malang, Kepolisian Resor Kota Malang, Kepolisian Resor Malang), militer (Komandan Distrik Militer 0818/Wilayah Malang-Batu), beberapa pemimpin dan karyawan media penyiaran, Komisi Pemilihan Umum, Panitia Pengawas Pemilihan Umum, perwakilan dari beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta, puluhan aktivis mahasiswa, para wartawan media cetak dan elektronik, serta organisasi wartawan, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Forum Wartawan Kota Malang, dan Forum Wartawan Kota Batu.
Termasuk ke dalam peserta wakil dari Balai Monitor Kelas II Surabaya.

Sedangkan seluruh narasumber hadir. Berdasarkan urutan nama, mereka:

1. Agus Sudibyo (peneliti media; Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi/SET, Jakarta)

2. Djoko Wahjono Tjahjo (owner Radio Elbayu, Gresik; Penasihat PRSSNI Jawa Timur)

3. Fajar Arifianto Isnugroho (Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah/KPID Jawa Timur)

4. Imawan Mashuri (Presiden Komisaris JTV, Ketua Umum Asosiasi Televisi Lokal Indonesia/ATVLI)

5. Rachmat Widayana, (Kepala Subdirektorat Analisa dan Evaluasi Frekuensi Radio, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi).

Acara dialog terselenggara juga berkat dukungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM, Pengurus Daerah PRSSNI Jawa Timur, dan Kantor Penjualan PT Garuda Indonesia.

Untuk itu, AJI Malang menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh narasumber, Bapak Budi Suprapto (Dekan Fisip UMM) dan Bapak Nasrullah; Bapak Lutfi Abdullah (Ketua PRSSNI Jawa Timur) dan Bapak Soetojo Soekomihardjo (pemilik Radio Suara Surabaya), serta Bapak Kemas Nomadiar dari Kantor Penjualan PT Garuda Indonesia.

Terima kasih pula kepada Saudara Eko Nurcahyo (Ketua PWI Malang Raya), Bapak Gatot Sulistiantoro Dewa Broto (Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Komunikasi dan Informatika) dan Bapak Basuki Yusuf Iskandar (Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi); serta kepada seluruh hadirin.

Mohon maaf untuk segala kekurangan kami dalam menyelenggarakan acara dialog publik tersebut.

Salam,


Heru Priyatmojo
Ketua Panitia

Kades Desak Polisi Tangkap Wartawan Preman

Selasa, 3 Februari 2009 7:58 WIB Kategori: Tapal Kuda

Probolinggo SURYA-Belasan kepala desa (kades) di Kecamatan Paiton dan Kotaanyar didampingi pengurus LSM Aliansi Masyarakat Peduli Prooblinggo (AMPP) dan LSM Gajahmada mengadu ke Polres Probolinggo, Senin (2/2).

Mereka mendesak polisi segera memberantas tindakan premanisme yang berkedok pers. Rombongan kades itu diterima Kasat Intelkam AKP Ridwan, Kasat Reskrim AKP Sunardi Riyono dan Kasat Narkoba AKP Didik Suhardi.

Para kades itu mengaku resah menyusul menjamurnya wartawan media mingguan maupun bulanan yang sering mendatangi mereka untuk memintai sejumlah uang.

“Kami sudah jemu. Tiap hari, kami didatangi wartawan. Ujung-ujungnya menakut-nakuti persoalan ini dan itu, tapi akhirnya meminta sejumlah uang,” ungkap Jamaluddin Joni, Kades Triwungan, Kecamatan Kotaanyar.

Puncak keresahan itu akhirnya sejumlah kades bersama pengurus LSM AMPP dan LSM Gajahmada mengadukan masalah itu Polres Probolinggo. “Sekarang ini, lagi ngetren pemberantasan premanisme. Tapi ada yang luput dari perhatian publik, adalah premanisme berkedok pers,” tandas Joni.

Sementara Ketua LSM AMPP H Lutfi Hamid mendesak polisi supaya tidak segan-segan menangkapi wartawan yang berperilaku preman. “Wartawan itu kerjanya mencari berita, bukan menakut-nakuti kepala desa. Ini harus ditindak tegas,” ujarnya.

Sementara Kasat Reskrim AKP Sunardi Riyono kepada Surya mengatakan, dirinya tidak akan tebang pilih memberantas premanisme. “Jika ada kades yang diperas. Silahkan laporkan ke polisi, kita secara profesional dan proporsional mengusutnya, asalkan ada fakta hukumnya,” tandasnya.

Secara terpisah, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) perwakilan Probolinggo H Ikhsan Mahmudi kepada Surya menentang keras jika ada wartawan yang berulah menakut-nakuti nara sumbernya.

Menurutnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pers, wartawan harus tunduk dan patuh kepada kode etik. “Jadi, kalau ada wartawan yang tidak menjadi anggota organisasi pers yang diakui Dewan Pers, maka kredibilitasnya patut diragukan,” tegasnya. st4

http://www.surya.co.id/2009/02/03/kades-desak-polisi-tangkap-wartawan-preman/