27 Jan 2009

PPATK Desak Calon Legislator dan Partai Serahkan Rekening

Selasa, 27 Januari 2009 16:24 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendesak partai politik peserta pemilu, calon anggota legislatif, serta calon anggota DPD menyerahkan data rekening untuk diklarifikasi.

"Ini untuk transparansi. Lagi pula kami sudah MoU dengan Bawaslu untuk menelusuri rekening-rekening itu," kata Kepala PPATK Yunus Husein di Jakarta, Selasa (27/1).

Dia mengatakan waktu pelaksanaan pemilihan umum sudah sangat dekat, sementara data yang harus ditelusuri PPATK sangat banyak.

Yunus pun mengaku tidak optimistis data simpanan dan aset partai atau caleg sesuai dengan kenyataan, karena pemeriksaan akuntan tidak menggunakan prosedur biasa atau tanpa pendapat mengingat waktunya sedikit.

Dia mengatakan data yang harus ditelusuri terdiri dari data-data milik 34 parpol dan 20 ribu calon legislator. Jumlah itu belum termasuk calon anggota DPD.

Menurut Yunus, parpol maupun caleg bisa memberi surat kuasa ke KPU untuk memeriksa rekeningnya. Setelah itu, KPU melimpahkan tugas itu ke PPATK sebagai institusi yang berwenang mengakses data nasabah ke lembaga keuangan.Kalau ada parpol atau caleg yang tidak mau memberi kuasa, lanjut dia, maka KPU bisa mengumumkan nama-nama mereka ke publik.

"Itu akan efektif, soalnya semua memerlukan imej yang bagus supaya memenangi pemilu," ujar dia. EKO NOPIANSYAH

http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2009/01/27/brk,20090127-157096,id.html

23 Jan 2009

Sejarah AJI Malang

Selama bertahun-tahun kondisi insan pers di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) banyak tersubordinasi dan terkooptasi oleh kekuasaan dan kaum pemodal.

Dalam kondisi demikiran, pers di Malang Raya lebih banyak mewujud menjadi partner kekuasaan dan kaum pemodal daripada berfungsi sebagai pengontrol. Akibatnya, seringkali hak-hak masyarakat menjadi terabaikan.

Subordinasi dan kooptasi telah menjadi sebuah sistem yang dianggap wajar. Wartawan-wartawan muda yang awalnya datang dengan segepok idealisme ikut terseret dalam kumparan iklim yang tidak sehat itu.

Sejumlah wartawan yang merasa prihatin dengan kondisi itu berupaya mendobraknya. Upaya awal ditempuh dengan menyelenggarakan diskusi kecil dua mingguan sejak awal 2004.Topik yang diambil tak jauh dari isu pemberitaan yang sedang menghangat di Malang; tentang APBD dengan narasumber dari Malang Corruption Watch (MCW), peraturan perundangan-undangan dengan narasumber dari Pusat Pengkajian Otonomi Daerah (PP Otoda) Universitas Brawijaya, upah buruh dengan narasumber dari Dinas Tenaga Kerja dan sejumlah organisasi serikat pekerja.

Diskusi berlanjut kendati hanya dihadiri tak lebih dari sepuluh wartawan dan bahkan makin berkembang dengan menghadirkan narasumber dari luar Malang, seperti Eep Syaefullah Fatah, Feri Santoro, dan Dita Indahsari.Selain diskusi, upaya yang dilakukan adalah dengan cara menggelar aksi demonstrasi. Aksi turun ke jalan menuntut pembebasan wartawan RCTI, Ersa Siregar, dan Feri Santoro dilakukan.

Demikian juga dengan aksi menolak kriminalisasi pers terhadap Kantor Majalah Tempo dan tiga wartawannya, yakni Bambang Harymurti, Teuku Iskandar Ali, dan Ahmad Taufik. Ahmad Taufik pun didatangkan ke Malang untuk berkampanye menolak kriminalisasi terhadap pers.

Dari diskusi dan aksi demonstrasi, plus berbagai kegiatan yang melibatkan wartawan, keinginan berorganisasi mulai membuncah. Setelah menelaah keberadaan sejumlah organisasi wartawan, maka Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang kemudian dipilih.Demi mewujudkan pendirian AJI di Malang, wartawan yang telah menjadi anggota AJI menjalin komunikasi dengan AJI Surabaya. Ketua AJI Surabaya Sunudyantoro diundang ke Malang untuk memberikan penjelasan tentang keorganisasian AJI.

Sembari menunggu penyelesaian persyaratan pendirian organisasi, anggota AJI Malang terus menggelar kegiatan, antara lain dengan menyelenggarakan Konser Amal Grup Musik Boomerang bekerja sama dengan Tim SAR Mahameru Malang. Hasil konser di tiga tempat itu disumbangkan untuk korban bencana gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam.

Selain itu juga diselenggarakan pelatihan peliputan satwa liar bekerja sama dengan ProFauna Indonesia.

Setelah urusan administrasi pendirian AJI diselesaikan dan calon anggota diinisiasi oleh Ketua Umum AJI Indonesia Edy Suprapto di Malang, maka AJI Malang dideklarasikan dengan status sebagai AJI Persiapan pada 28 Mei 2005.

Deklarasi ditandai dengan diskusi terbuka bertema Independensi Media dalam pemilihan kepala daerah yang dihadiri oleh Ketua Umum AJI Indonesia dan Ketua AJI Surabaya. Diskusi diadakan di Kampus Universitas Brawijaya Malang bekerja sama dengan MCW dan PP Otoda.Rapat anggota AJI Persiapan Kota Malang yang diikuti 21 anggota AJI digelar dengan agenda utama pemilihan pengurus sementara.

Hasilnya, Bibin Bintariadi (Koresponden Tempo) terpilih sebagai ketua, Winuranto Adhi (Koresponden Majalah Trust) terpilih sebagai wakil ketua, Dini Mawuntyas (Harian Suara Indonesia) terpilih sebagai sekretaris, dan Yenny Arga (Radio MAS FM) terpilih sebagai bendahara.

Setelah menunggu hampir enam bulan, pada Kongres AJI Indonesia VI di Cipanas, Jawa Barat, 24-27 November 2005, status AJI Malang ditetapkan sebagai AJI Kota.

19 Jan 2009

Dewan Pers Kirim Surat Peringatan ke Komisi Pemilihan

Senin, 19 Januari 2009 21:28 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Dewan Pers akan mengirimkan surat peringatan ke Komisi Pemilihan Umum. Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, mengatakan surat itu terkait sikap Komisi Pemilihan yang kurang bersahabat dengan pers."Kami meminta supaya Komisi Pemilihan lebih terbuka dengan wartawan," kata Leo usai menerima pengaduan Forum Wartawan Pemilihan Umum di kantornya, Jakarta, Senin (19/1).

Pengaduan Forum Wartawan terkait peristiwa terkuncinya tiga wartawan di media center Komisi Pemilihan. Mereka adalah Agus Supriyatna dari Koran Jakarta, Bayu Trimujoko dari Jawa Pos, dan Pasti Liberti dari Seputar Indonesia pada Sabtu (17/1). Saat itu, mereka tengah mewawancarai Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilihan Umum, Hadar Nafis Gumay.

Koordinator Forum Wartawan, Arjuna Al Ichsan dari Jurnal Indonesia, mengatakan peristiwa terkuncinya wartawan di media center bukan pertama kali terjadi. Setidaknya, peristiwa ini sudah terjadi tiga kali.

Leo menyayangkan peristiwa penguncian pintu tersebut. Menurut dia, media center harusnya terbuka untuk masyarakat yang ingin mencari informasi maupun memberitakan Pemilihan 2009. “Media center seharusnya bisa digunakan siapa saja yang terkait dengan pemilu. Kalau hanya untuk Komisi Pemilihan dan Badan Pengawas, namakan saja itu KPU-Bawaslu Center,” ujarnya.

Kasus terkuncinya tiga wartawan sempat diadukan ke Kepolisian Sektor Menteng, Jakarta Pusat. Namun belum selesai proses pemberkasan laporan, staf Komisi Pemilihan meminta wartawan membicarakan peristiwa itu. Anggota Komisi Pemilihan, I Gusti Putu Artha, menyatakan lembaganya tak berniat menghambat kerja wartawan. Para komisioner juga tak pernah mengeluarkan perintah untuk melarang kalangan pengamat pemilu menggelar jumpa pers. “Kami akan benahi media center," katanya. PRAMONO

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2009/01/19/brk,20090119-156004,id.html

18 Jan 2009

Jual Jaket AJI














Kami membuat dan menjual jaket AJI kepada siapa pun anggota AJI yang berminat. Kami melayani penjualan untuk perorangan maupun kolektif. AJI Kota lain yang ingin membeli, silakan menghubungi kami lewat jalur pribadi.

Desain, warna, ukuran, bisa diubah sesuai selera pemesan. Soal harga, bisa dinegoisasikan. Dan, semua bisa dibicarakanlah...










13 Jan 2009

Parliamentary Threshold Bertentangan dengan UUD 1945

SIARAN PERS

YLBHI Dampingi 10 Parpol Uji Materiil UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi:
Parliamentary Threshold Bertentangan dengan UUD 1945

Pada hari Rabu, 14 Januari 2009, Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) secara resmi akan memasukan berkas permohonan uji materiil UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ke Mahkamah Konstitusi (MK), berkaitan dengan ketentuan ambang batas perolehan suara 2,5% bagi Parpol untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. YLBHI bertindak sebagai kuasa pemohon dari 10 Partai Politik (Parpol), 179 calon anggota legislatif (Caleg), dan 234 anggota Parpol.

Sepuluh Parpol yang menjadi pemohon adalah Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), dan Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI).

Komposisi Caleg yang menjadi pemohon adalah Caleg PDP (39 orang), Partai Patriot (35 orang), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (30 orang), PPRN (22 orang), PPD (20 orang), PIS (11 orang), PNBK (10 orang), PPIB (9 orang).

Komposisi anggota Parpol yang menjadi pemohon adalah PPD (110 orang), Partai Patriot (59 orang), PPIB (50 orang), dan PPRN (15 orang).

Pasal yang dimohonkan uji materiil karena bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.”

Alasan permohonan adalah:

· Telah terjadi kesewenang-wenangan (willekeur) oleh pembentuk undang-undang: pembentuk undang-undang tidak mendasarkan perumusan ketentuan pasal pada prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi, melainkan hanya berdasar argumen kekuasaan semata;
· Telah terjadi pertentangan antara parliamentary threshold dengan asas Pemilu proporsionalitas, keterwakilan dan derajat keterwakilan yang lebih baik seperti tersirat dalam Penjelasan UU No 10/2008 Tentang Pemilu.
· Suara rakyat yang hangus: hilangnya suara sama dengan hilangnya aspirasi pemilih. Hilangnya suara yang sangat banyak yang semestinya bisa dicegah, tentu bertentangan dengan jaminan hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi;
· Hilangnya kesempatan seorang calon legislatif untuk duduk di DPR RI karena diusulkan oleh Partai Politik yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas perolehan suara untuk diikutkan dalam penentuan kursi legislatif;
· Tidak dilibatkannya Partai Politik persyaratan ambang batas perolehan suara untuk diikutkan dalam penentuan kursi dan pembagian sisa kursi legislatif, sehingga bertentangan dengan prinsip representasi dan legitimasi anggota legislatif berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dinyatakan dalam putusan MK dalam perkara Nomor 22 dan 24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008.

Pasal 202 ayat (1) tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, yaitu “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Selain itu, juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…”; bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yaitu: “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

YLBHI menegaskan posisi bahwa permohonan uji materiil ini sama sekali bukan untuk mempersoalkan pilihan kebijakan, sebab di beberapa negara pemberlakuan parliamentary threshold merupakan pilihan kebijakan. Permohonan ini tidak lain mempersoalkan pilihan kebijakan yang diambil oleh pembentuk undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945.

Ketentuan parliamentary threshold 2,5% tersebut telah melawan tiga nilai dasar hukum yakni kesamaan, kebebasan, dan solidaritas, serta tidak sejalan dengan semangat reformasi yang berlandaskan demokrasi dan keadilan. Ketentuan itu merupakan praktik diktatoriat partai politik besar. Dengan adanya rumusan Pasal 202 ayat (1) tujuan perwujudan kedaulatan rakyat tersebut tidak akan tercapai, karena persyaratan prosentasi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional, telah membatasi kesempatan partai politik dan calon legislatif untuk duduk sebagai wakil-wakil rakyat.

Ketentuan parliamentary threshold merupakan wujud kepentingan politik Parpol besar. Merupakan siasat pembentuk undang-undang untuk menyembunyikan ketidakadilan bagi Parpol dan Caleg di luar Parpol besar. Ketentuan itu bertujuan agar Parpol besar yang anggotanya saat ini bertindak sebagai pembentuk undang-undang memperoleh tambahan kursi yang seharusnya bisa saja dan kemungkinan diperoleh oleh calon anggota DPR RI yang berasal dari partai yang tidak lolos persyaratan ambang batas perolehan suara untuk diikutkan dalam penentuan kursi legislatif, seperti sekarang ini.

Jakarta, 13 Januari 2009

Badan Pengurus

Patra M. Zen (Ketua)

Tabrani Abby (Wakil Ketua Internal II)

Zainal Abidin (Direktur Riset dan Pengembangan)

Agustinus Edy Kristianto (Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik)

Farah Sofa (Direktur Pengembangan Organisasi)

Nur Hariandi (Advokat Publik/Direktorat Advokasi & Bantuan Hukum)

AJI Berdialog dengan Ketua Mahkamah Agung

Membahas Penanganan Kasus Pers di Pengadilan.

Jakarta, 13 Januari 2009.

Hari ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengadakan dialog dengan Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa, di kantor MA, Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Dialog berlangsung pukul 10.30 sampai 12.00 WIB itu membahas seputar penanganan perkara pers di pengadilan. Pertemuan itu adalah tindak lanjut dari pertemuan AJI dengan Ketua MA sebelumnya, Bagir Manan.

Dalam dialog itu, Ketua AJI Indonesia Nezar Patria menyampaikan keprihatinan AJI mengenai banyaknya kasus pencemaran nama baik (defamation) oleh pers. “Kami minta agar mekanisme penanganan perkara pers menggunakan mekanisme dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers,” kata Nezar. Untuk itu Nezar meminta agar MA menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) yang intinya menghimbau para hakim yang mengadili perkara pers menggunakan mekanisme yang diatur UU Pers.

Menurut Koordinor Divisi Advokasi AJI Indonesia, Margiyono, mekanisme penyelesaian perkara yang diatur oleh UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers adalah paling cocok untuk kasus pencemaran nama baik. Sebab, kasus pencemaran nama baik adalah kasus setengah perdata dan setengah pidana, sehingga perlu dibuka ruang seluas-luasnya bagi perdamaian. Bahkan di banyak negara, pencemaran nama baik sudah dihapuskan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

“Mekanisme tersebut adalah penggunaan HAK Jawab dan mediasi melalui Dewan Pers,” kata Margiyono. “Jika mekanisme ini dijalankan, maka beban lembaga peradilan dan Mahkamah Agung akan semakin ringan, karena selama ini MA selalu kebanjiran perkara,” tambahnya.

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Jajang Jamaludin mengatakan dalam penanganan perkara pers harus mengedepankan pendekatan etis. “Seorang wartawan lebih jera jika dinyatakan melanggar etik oleh Dewan Pers, ketimbang dibawa ke pengadilan,” kata Jajang.

Ketua MA Harifin Tumpa mengatakan dalam menangani perkara pers MA telah mengedepankan Hak Jawab sebagaimana diatur UU Pers.

“Tapi MA tidak bisa menginstruksikan para hakim agar menggunakan UU Pers, karena setiap hakim memiliki independensi,” kata Harifin. “Yang dapat dilakukan MA adalah memberi contoh para hakim melalui putusan-putusan di tingkat kasasi,” Harifin menambahkan.

Harifin juga menyarankan, agar lebih melindungi pers sebaiknya AJI mendorong revisi UU Pers dengan memasukkan sanksi-sanksi pidana dan memperbaiki mekanisme penyelesaian perkara.

SEMA Saksi Ahli

Ketua MA juga mengatakan bahwa MA baru-baru ini menerbitkan SEMA No 14 tanggal 30 Desember 2008. SEMA itu berisi himbauan agar dalam menangani perkara pers, para hakim mengundang saksi ahli dari Dewan Pers.

“Dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik Pers hendaknya Majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk-beluk pers secara teori dan praktek,” demikian salah satu isi SEMA tersebut.

Mantan Ketua AJI Indonesia Heru Hendratmoko menyambut baik SEMA tersebut. Heru menyatakan bersyukur setelah berdialog dengan MA beberapa waktu lalu, akhirnya MA mengeluarkan SEMA tersebut. “SEMA tersebut sangat berguna karena menjadi landasan operasional para hakim yang akan memutus perkara pers, sehingga tidak salah dalam memilih saksi ahli,” kata Heru.

Ketua Umum AJI Nezar Patria berharap SEMA yang baru dikeluarkan oleh Mahkamah Agung itu bisa menjadi rujukan bagi para hakim di seluruh Indonesia. “Tanpa bermaksud mencampuri independensi hakim, SEMA tentang saksi ahli kasus pers ini adalah terobosan penting agar pengadilan bisa memutuskan sengketa pers dengan lebih adil sesuai amanat UU Pers,” ujarnya.

8 Jan 2009

AJI Menyesalkan Laporan Kejaksaan Agung Terhadap Dua Aktivis ICW

Jakarta, 8 Januari 2009.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyesalkan Kejaksaan Agung yang melaporkan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illan Deta Arthasari, ke Markas Besar Kepolisian RI. Kedua aktivis ICW tersebut dilaporkan pada 7 Januari 2009 dengan tuduhan fitnah dan pencemaran terhadap institusi negara.

Laporan itu merupakan buntut pernyataan Koordinator Monitoring Peradilan ICW, Emerson Juntho, yang dimuat Rakyat Merdeka edisi 5 Januari 2009. Berita tersebut berjudul “Uang Perkara Korupsi Kok Dikorupsi: Kenapa Duit 7 Triliun Belum Masuk Kas Negara?”.

AJI Indonesia menilai laporan tersebut merupakan bentuk tekanan terhadap kebebasan berpendapat dan peran masyarakat dalam melakukan kontrol sosial.

Pasal pencemaran nama baik dan fitnah terhadap institusi dan pejabat negara semestinya sudah tidak diberlakukan lagi. Pasal 310 ayat (1), (2), 311 ayat (1), 316, dan 207 dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak sesui dengan semangat negara demokratis. Di negara demokratis, pejabat negara bukanlah orang-orang suci yang “can do no wrong”, namun justru menjadi obyek kritik.

Kritik oleh dua aktivis ICW tersebut merupakan upaya pengawasan masyarakat terhadap pejabat negara demi terwujudnya transparansi dan mempercepat pemberantasan korupsi. Pasal-pasal tersebut kerap juga didakwakan kepada jurnalis yang kritis terhadap pejabat dan institusi negara. Jurnalis maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat merupakan elemen kritis yang menjalankan kontrol sosial. Penerapan pasal-pasal seperti itu hanya memberangus daya kritis masyarakat dan melemahkan kontrol masyarakat terhadap pejabat dan instusi negara.

Namun, sayang Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terhadap pasal-pasal tersebut. Padahal, saat ini banyak negara yang menghapuskan pasal-pasal pencemaran nama baik (defamation) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (penal code) mereka. Kasus pencemaran nama baik semestinya merupakan sengketa hukum perdata karena merupakan masalah antar pribadi, bukan masalah publik. Hukuman untuk kasus ini semestinya merupakan denda atau ganti rugi, bukan penjara.

Banyak pula negara-negara yang tidak menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik dan fitnah, namun tidak lagi menerapkannya di pengadilan. Pasal-pasal tersebut diangap tidak pernah ada alias menjadi “pasal tidur”.

Kita semua tahu, bahwa pasal-pasal pencemaran nama baik terhadap pejabat negara dan institusi negara merupakan warisan penjajah Belanda. Pasal tersebut digunakan untuk menjerat para pejuang yang melawan kekuasaan kolonial. Di negeri Belanda sendiri, pasal-pasal tersebut sudah dicabut puluhan tahun lalu. Namun, di Indonesia yang tengah menjalankan reformasi dan gencar memberantas korupsi, pasal-pasal tersebut tetap diterapkan untuk menjerat jurnalis dan aktivis yang kritis terhadap pejabat.

Atas kasus, tersebut AJI Indonesia menyarankan Kejaksaan Agung merespon dengan klarifikasi di depan publik dan memperbaiki kinerjanya. Klarifikasi di depan publik lebih bermanfaat untuk mendorong wacana publik. Selain itu klarifikasi di depan publik akan lebih efektf untuk memperbaiki citra Kejaksaan Agung dibandingkan mendakwa secara pidana. Hukuman pidana tidak akan pernah memperbaiki cira Kejaksaan Agung.

AJI Indonesia juga menghimbau penegak hukum untuk tidak lagi menerapkan pasal-pasal pencemaran nama baik (defamation). Pasal-pasal tersebut tidak lagi sesuai untuk negara demokratis seperti Indonesia. Lebih dari itu, pasal-pasal tersebut hanya menghambat upaya pemberantasan korupsi yang tengah gencar dilakukan pemerintah.

AJI Indonesia meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat menolak semua pasal pencemaran nama baik (defamation) dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Adanya pasal-pasal pencemaran nama baik menunjukkan bahwa RKUHP belum mencerminkan produk hukum nasional sebuah negara demokratis.

AJI merupakan organisasi jurnalis profesional di Indonesia. AJI selalu mendorong penghapusan delik-delik pencemaran nama baik (defamation) sebagaimana dilakukan organisasi-organisasi jurnalis di luar negeri.

Maling Bobol Kantor MCW

Kamis, 08/01/2009 14:46 WIB

Reporter : Hari Istiawan

Malang-Pencuri berhasi membobol Kantor Malang Corruption Watch (MCW) yang baru sekitar dua bulan ditempati, di jalan Joyosuko Metro 42 Merjosari, Lowokwaru, Kota Malang, Kamis (8/1/2009) dinihari tadi.

Akibat pencurian ini, sebuah laptop berisi data penting seperti hasil riset Korupsi di Jatim dan tiga buah handphone amblas dibawa pelaku.

Menurut Zia'ul Haq, Koordinator Badan Pekerja MCW saat ditemui beritahatim.com di kantornya mengatakan kalau pelaku masuk melalui pintu belakang kantor dengan melubangi tembok sebesar satu bata merah untuk membuka kunci yang hanya dikunci slot (engsel).

"Tadi malam yang menginap di sini ada empat relawan, dan tiga buah HP milik mereka juga ikut dibawa pelaku," kata Zia' di kantornya, Kamis (8/1/2009).

Menurutnya, data yang berada di laptop tersebut untungnya masih ada copy anya sehingga tidak terlalu membuatnya kebingungan, pasalnya itu adalah data-data rapat kerja MCW Tahun 2009 ini, serta data-data dugaan korupsi di Malang Raya dan Jawa Timur.

Sementara itu, dari keterangan salah satu relawan yang menginap di kantor, Abdul Wahab, dia mengaku tidak mendengar sama sekali ketika pelaku melubangi tembok kantornya."Ada teman saya yang mendengar tapi ketika bangun dan dilihat semua motor masih ada, dia tidur lagi karena dianggap aman," ujar Wahab. [har/ted]

http://www.beritajatim.com/?url=http://www.beritajatim.com/index.php/tahun/2009/bulan/01/tgl/08/idnews/5aa3af933c346a8076310df477f71979&newsid=58450

Kantor Malang Corruption Watch Dibobol Maling

Kamis, 08/01/2009 13:56 WIB

Muhammad Aminudin - detikSurabaya

Malang - Sekretariat Malang Corruption Watch (MCW) Kota Malang dibobol maling. Akibatnya, laptop merek Toshiba serta tiga buah HP milik tiga relawan amblas.

Barang-barang berharga milik para relawan itu digondol maling saat mereka bermalam di kantor MCW di Jalan Joyosuko Metro No 48, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Kamis (8/1/2009) dini hari.

Dugaan sementara, para pelaku berhasil masuk ke dalam ruang sekretariat dengan melewati pintu belakang kantor. Sebelumnya, pelaku menjebol tembok di samping pintu untuk dapat membuka kunci pintu.

Aksi pelaku ini diduga dilakukan pada dini hari ketika tiga relawan MCW yang menginap di sekretariat itu tertidur lelap.

"Kita tahu pagi, setelah pintu belakang terbuka. Mencurigai menjadi sasaran pencuri, kami mengecek seluruh barang yang ada. Kita temukan laptop di ruang administrasi hilang bersama tiga HP," ujar Zia Ulhaq, koordinator MCW pada wartawan saat melaporkan kasus ini ke Polresta Malang.

Menurut Zia, laptop yang dibawa kabur pencuri berisi data rapat kerja MCW Tahun 2009 ini, data-data dugaan korupsi di Malang Raya, serta kasus korupsi daerah di Jawa Timur yang bakal diagendakan dalam kerja Tahun 2009.

"Kami belum dapat memastikan motif dari aksi pelaku. Apakah ada muatan lain selain tindak kriminal," imbuh Zia menjelaskan.

Dipastikan, lanjut Zia, pelaku telah memahami betul denah kantor sekretariat MCW. Masalahnya, dalam aksinya pelaku langsung menuju ruang admintrasi untuk mengambil laptop tanpa mengambil barang di ruang lainnya.(bdh/bdh)

http://surabaya.detik.com/read/2009/01/08/135653/1065158/475/kantor-malang-corruption-watch-dibobol-maling

Data Korupsi Malang Corruption Watch Raib

Kamis, 08 Januari 2009 15:27 WIB

TEMPO Interaktif, Malang: Kantor Yayasan Malang Corruption Watch (MCW), salah satu lembaga antikorupsi ternama di Malang, dibobol maling pada Rabu (7/1) dini hari. Tiga unit laptop berisi data kasus korupsi di Jawa Timur serta tiga telepon genggam milik staf MCW digondol pencuri.

Koordinator Badan Pekerja MCW Zia' Ul Haq menduga motif pencurian bukan kriminal murni, melainkan dilakukan pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai keberadaan dan kerja-kerja lembaga antikorupsi yang berdiri sejak 31 Mei 2000 itu.

Selama ini MCW getol mengungkap dan merilis dugaan korupsi di Jawa Timur, khususnya di wilayah Malang Raya yang mencakup Kabupaten/Kota Malang dan Kota Batu. Terakhir MCW merilis nilai korupsi di Jawa Timur mencapai Rp 1,3 triliun dan khusus nilai korupsi di Malang Raya mencapai Rp 124,6 miliar.

Saat ini MCW juga sedang menangani dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Malang 2004 dan dana kas daerah Kota Batu. Kedua kasus ini sudah diusut kejaksaan negeri setempat. Beberapa anggota parlemen Kota Malang dan beberapa pejabat di Kota Batu diperiksa kejaksaan.

"Kami menduga itu bukan pencurian biasa. Pencuri sengaja mengincar laptop yang berisi data-data penting soal korupsi. Pencuri juga mengambil handphone. Padahal di kantor juga ada beberapa barang berharga lainnya," kata Zia' kepada Tempo, Kamis (8/1), seusai melapor pada Kepolisian Resor Kota Malang.

Pencurian diduga bermotif politik karena sepertinya pelaku mengetahui rencana MCW yang hendak menyerahkan dokumen korupsi kepada anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang akan mengunjungi Malang dalam waktu dekat.

Berdasarkan keterangan staf MCW, pencuri diduga memasuki kantor MCW dengan cara menjebol tembok belakang. Mereka beraksi sekitar pukul 01.00 sampai 01.30. Pencuri diduga berjumlah lima orang, tiga orang beraksi, dua orang mengawasi di luar. Aksi mereka berjalan lancar karena kantor MCW berada di lokasi yang cukup sepi, berdekatan dengan persawahan dan hutan kecil Merjosari. ABDI PURMONO

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/01/08/brk,20090108-154377,id.html

7 Jan 2009

2008: Pemerintah Sebagai Pengadu Terbanyak

05 Januari 2009 16:08:08

Jakarta - Lembaga pemerintah menjadi pihak yang paling banyak mengadu ke Dewan Pers sepanjang tahun 2008. Dari total 324 pengaduan, hampir 50%-nya datang dari lembaga pemerintah, seperti Departemen, Pemda, kantor Dinas, dan kantor pemerintah lainnya.

Data ini terungkap dalam dialog “Dewan Pers di Kafe Senayan” yang disiarkan TVRI, Selasa malam, (23/12/2008). Dialog yang dipandu Wina Armada Sukardi ini mengundang pembicara Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, serta anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho dan Bambang Harymurti.

Menurut Bekti Nugroho, Dewan Pers rata-rata menerima 27 pengaduan setiap bulan. Pengaduan tersebut terbagi dua, yaitu bersifat langsung dan tembusan. Umumnya pengadu mengeluhkan ketidakberimbangan dalam pemberitaan. Menangapi hal ini, media yang diminta keterangan oleh Dewan Pers sering beralasan, “narasumber tidak bisa dihubungi,” ungkap Bekti.
Tiras

Tahun 2008 masih diwarnai keberadaan pers abal-abal atau yang tidak jelas keberadaannya. Pers semacam itu, menurut Leo Batubara, sering tidak bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat. Namun mereka tidak mampu menguasai tiras suratkabar nasional yang jumlahnya mencapai 7 juta. Media mainstream tetap menguasai tiras suratkabar.

“Hati-hati memahami pers karena ada pers bablas dan pers berkualitas,” tegas Leo.

Ia melanjutkan, Dewan Pers tahun 2009 menganggarkan sekira Rp.2 miliar untuk melatih wartawan di daerah. Kegiatan tersebut bagian dari upaya untuk mengajak pers meningkatkan profesionalitasnya. Apalagi di tahun 2009 ada pelaksanaan pemilihan umum yang menjadi tantangan berat bagi pers.

Sementara itu, Bambang Harymurti menilai, tahun 2008 masih tahun buruk bagi pers. Sebab ada dua wartawan di penjara. Peringkat kemerdekaan pers Indonesia juga tetap buruk, yaitu di posisi ke-111 dari 173 negara yang disurvei.

Bambang berharap di tahun 2009 ada perbaikan tingkat kemerdekaan pers Indonesia. Karena itu Dewan Pers telah bertemu dengan Mahkamah Agung (MA), Selasa, (23/12/2008). Pertemuan tersebut rencananya ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan MA mengenai penggunaan UU Pers dan posisi Dewan Pers sebagai mediator sengketa pers.

“Mudah-mudahan tahun depan lebih baik,” kata Bambang.*

--,,--

SMS Pemirsa TVRI:

Pers Indonesia tidak kreatif, suka sensasi saja, membingungkan masyarakat, mau menang sendiri dan pornografi. Mana yang berkualitas? (0812.6619xxx)

Pers jangan dibawa ke pengadilan karena bukan kejahatan. Ingat tugasnya menerima info dan menyampaikan informasi. Jadi hanya sebagai jembatan. (0812.7514xxx)

Sebenarnya wartawan bagus, juga pemerintah baik, tapi mereka diemban dijadikan ajang bisnis/korupsi untuk kesenangan dan memperkaya diri. (0813.70880xx)

http://www.dewanpers.or.id/dpers.php?x=news&y=det&z=266aed11bf8abe21c33e7b27347ced57

Organisasi Wartawan Tertantang Tingkatkan Mutu Wartawan


31 Desember 2008 10:22:59

Jakarta - Organisasi wartawan harus mendorong anggotanya untuk menghasilkan berita berkualitas, aktif memantau penegakan kode etik, dan selektif dalam merekrut anggota. Jika langkah ini terus dilakukan, kualitas wartawan akan meningkat.

Saat ini ada organisasi wartawan yang keberadaannya justeru merusak citra pers dan melakukan kegiatan di luar persoalan pers. Anggotanya kebanyakan bukan wartawan atau penulis aktif. Karya jurnalistik yang dihasilkan mereka cenderung melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Demikian beberapa pemikiran yang muncul dalam dialog Dewan Pers yang disiarkan langsung oleh TVRI, Selasa malam, (9/12/2008). Dialog yang dipandu Wina Armada Sukardi ini bertema “Peran Organisasi Wartawan dalam Meningkatkan Kinerja Pers.” Menghadirkan pembicara Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers), Nezar Patria (Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen-AJI), dan Kamsul Hasan (Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia-PWI Jakarta).

Tertantang

Leo mengungkapkan, sekarang ini masih banyak wartawan yang tidak membaca UU Pers dan memahami KEJ. Padahal, keduanya penting sebagai petunjuk bagi wartawan saat bekerja.
Karena itu, organisasi wartawan harus tertantang untuk mendorong anggotanya menjadi cerdas, taat kode etik, dan menghasilkan berita berkualitas. Keberadaan wartawan yang cerdas dengan sendirinya membantu tumbuhnya media mencerdaskan.

“Media bisa mencerdaskan kalau wartawannya cerdas,” tegas Leo.

Nezar membenarkan, organisasi wartawan harus mendukung anggotanya untuk menjaga kode etik dan nama baik profesinya.

Terkait dengan munculnya benturan kepentingan antara wartawan dengan perusahaan pers, ia menegaskan, kesetiaan wartawan utamanya pada profesinya. Organisasi wartawan dapat membantu wartawan untuk menyelesaikan persoalan ini. “Ia bisa lari ke organisasi profesi, inilah gunanya organisasi,” kata Nezar.

Sementara itu, Kamsul mengungkapkan pentingnya seleksi yang lebih ketat saat organisasi wartawan merekrut anggota. Di PWI Jakarta, misalnya, calon anggota harus bersedia untuk menandatangani surat pernyataan tidak memeras.

“Daripada mereka mencoreng nama PWI lebih baik tidak menjadi anggota PWI,” ungkapnya.*

SMS PEMIRSA

“Mengapa citra wartawan buruk di kalangan pejabat dan masyarakat, apakah profesi wartawan sangat menyeramkan?” (0856.69726xxx)

“Semakin banyak organisasi wartawan, makin banyak wartawan amplop.” (P. Siswanto di Wonogiri)

“Wartawan kayaknya perlu diklat, berilustrasi objektif, dan berbudi luhur serta bersertifikat. Baru (setelah itu) dinyatakan wartawan.” (Atma di Bengkulu)

“Umumnya wartawan di daerah tidak memperoleh gaji yang cukup bahkan sangat memperihatinkan. Coba lakukan penelitian untuk itu.” (Edwin di Siantar)

“Banyak wartawan datang ke sekolah yang mendapat rehab, meminta uang dengan memaksa.” (Karadusman di Cianjur)

“Wartawan disamping meliput berita ada juga yang diwajibkan menjual koran di perusahaan tempatnya bekerja.” (Mudawar di Pariaman)

“Wartawan bekerjalah dengan baik, tulis berita apa adanya, jangan melenceng.” (0813.74121xxx)

http://www.dewanpers.or.id/dpers.php?x=news&y=det&z=abeacf7cfb60a0c326deaa43c343898e

Pemerintah Kabupaten Tulungagung Sediakan Dana Khusus Wartawan

KORAN TEMPO
Edisi 07 Januari 2009

AJI Kediri mengecam.

TULUNGAGUNG -- Pemerintah Kabupaten Tulungagung mengalokasikan dana khusus bagi wartawan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2009. Penganggaran ini dimaksudkan untuk menjalin kerja sama pemberitaan dengan beberapa media yang ditunjuk.

Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Tulungagung Wahyu Aji, pengalokasian anggaran ini sudah dilakukan pemerintah kabupaten sejak bertahun-tahun lalu. Ia sendiri mengaku hanya meneruskan kebiasaan itu sebagai pejabat yang ditunjuk bupati untuk membina kerja sama dengan wartawan.

"Nilainya tidak terlalu besar, paling-paling untuk kegiatan coffee morning," kata Wahyu kepada Tempo kemarin.

Wahyu enggan menyebut berapa besaran dana yang disediakan untuk para wartawan itu. Yang jelas, dana itu, kata dia, untuk membeli makanan dan minuman setiap kali mengundang wartawan ke kantor pemerintah kabupaten. Selain itu, Bagian Humas memberikan sejumlah uang sebagai pengganti transportasi kepada wartawan.

Pertemuan dengan para wartawan itu, kata Wahyu, dilakukan untuk mensosialisasi program pembangunan yang tengah dilakukan pemerintah kabupaten. Ia tidak merasa alokasi dana itu sebagai "sogokan" kepada para wartawan.

"Kami sangat berkepentingan untuk menjalin kerja sama dengan wartawan. Mohon jangan disalahartikan," kata Wahyu.

Berdasarkan RAPBD 2009 yang saat ini sedang diajukan kepada Gubernur Jawa Timur, tim anggaran pemerintah kabupaten mengalokasikan dana untuk pos Bagian Humas sebesar Rp 225 juta. Jumlah ini terbagi dalam beberapa kegiatan nonfisik, di antaranya strategi pengembangan media infokom sebesar Rp 45 juta, program kerja sama informasi dengan media masa sebesar Rp 145 juta, serta operasional news room sebesar Rp 15 juta.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri Dwidjo Utomo Maksum mengecam sikap Pemerintah Kabupaten Tulungagung itu. Menurut dia, alokasi dana untuk wartawan itu tak memiliki dasar hukum. Sebab, kata dia, para jurnalis sudah menerima upah dari perusahaan tempat mereka bekerja. "Negara sangat dilarang memberikan sesuatu kepada wartawan dengan alasan apa pun," katanya.

Karena itu, Dwidjo meminta kepada semua kepala daerah di eks Karesidenan Kediri untuk tidak menyediakan anggaran khusus kepada wartawan. Ia juga meminta masyarakat berperan aktif mengawasi penggunaan uang negara agar tidak dimanfaatkan segelintir orang di jajaran birokrasi maupun pekerja media.

Sementara itu, pengalokasian anggaran kunjungan kerja dan pelatihan anggota DPRD Kabupaten Tulungagung sebesar Rp 6,5 miliar terus menuai kecaman. Koordinator Lembaga Swadaya Masyarakat Mangku Bumi Tulungagung Ichwan Musaffa menduga anggaran itu akan dimanfaatkan oleh para wakil rakyat untuk membiayai kegiatan kampanye, yang akan berlangsung pada Agustus mendatang.

"Kalau baru delapan bulan berhenti, mana bisa kunjungan kerja itu tuntas dilaksanakan?" ujarnya.

Namun, Ketua DPRD Kabupaten Tulungagung Isman berkeras bahwa alokasi dana itu sesuai dengan aturan. "Jika nantinya ada anggota yang lengser, tentu biaya kunjungan kerja itu akan bisa dipakai oleh anggota Dewan yang baru," ujarnya. HARI TRI WASONO

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/07/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090107.152972.id.html

6 Jan 2009

Upah Layak Jurnalis Surabaya Rp 2,7 Juta


Hasil Kerja Tahun 2008 dan Proyeksi Kerja Tahun 2009

Belum adanya standarisasi pengupahan jurnalis di Surabaya, mendorong Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya melakukan survey untuk menentukan upah layak jurnalis yang bekerja di media terbitan dan berkantor pusat di Surabaya. Penentuan gaji wartawan selama ini berdasarkan "nilai rata-rata upah jurnalis yang berlaku di pasaran", yang rata rata masih jauh dari kelayakan. Bahkan, masih ada jurnalis yang tidak digaji sama sekali oleh media tempatnya bekerja. Meskipun AJI Surabaya juga melihat ada manajemen media yang menjadikan jenjang pendidikan jurnalis sebagai patokan.

Tidak layaknya upah jurnalis ini selalu menjadi alasan untuk melanggengkan praktek terima suap "amplop", meskipun dalam kode etik jurnalistik (AJI) jelas-jelas melarang praktek tersebut. Berdasarkan survey ini, AJI yang selalu menentang praktek suap mendesak media menggaji wartawannnya dengan cara layak.

Tim survey AJI Surabaya mewawancarai puluhan jurnalis di Surabaya untuk mengetahui kebutuhan mereka lalu mencocokkan harga kebutuhan tersebut di pasaran. Cara inilah yang dijadikan dasar untuk menentukan upah layak wartawan. Karena, upah jurnalis tidak bisa dilepaskan dari kondisi harga kebutuhan pokok di pasaran.

Survey pasar yang dilakukan menyentuh harga semua produk yang banyak dikonsumsi jurnalis. Khususnya, bahan-bahan pokok yang dijual di pasar modern (swalayan), lantaran tingkat inflasinya dianggap paling stabil dibandingkan dengan pasar tradisional.

Dalam melakukan survey ini, AJI Surabaya menggunakan metode survey tertutup kepada 30 jurnalis di Surabaya sebagai responden. Jurnalis yang disurvey sebagai responden, merupakan karyawan tetap. Seperti yang diuraikan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, status karyawan tetap adalah status yang paling kuat kedudukannya. Karyawan tetap juga memiliki sejumlah hak. Nilai/harga kebutuhan para junalis diambil nilai tengah atau harga yang paling sering muncul dari responden.

Survey ini tentu saja tidak selalu berjalan mulus seperti yang diharapkan. Dalam melakukan survey, idealnya harus diketahui terlebih dahulu berapa jumlah jurnalis yang bekerja pada media tersebut. Lalu, mencari data tentang jumlah wartawan yang sudah diangkat sebagai karyawan tetap. Dari jumlah jurnalis berstatus karyawan tetap itu, didapat jumlah sampling untuk survey. Sayangnya, kenyataan tak seindah mimpi. Berdalih rahasia perusahaan, manajemen media enggan memberikan data mengenai jumlah dan status karyawannya.

Kendala lain yang juga terjadi adalah, ketakutan jurnalis sebagai responden dalam survey. Beberapa di antara mereka mengaku khawatir mendapat sanksi, jika perusahaannya tahu ia menjadi responden dalam survey ini. Salah seorang jurnalis bahkan menarik dan membatalkan hasil survey. Berbedanya sistem pengupahan tiap media juga menjadi kendala yang cukup signifikan dalam survey ini. Jika sebuah media hanya memberi gaji pokok tanpa potongan dan dianggap sebagai take home pay. Maka perusahaan lain memberikan lebih. Selain gaji pokok, uang transport, uang makan, tunjangan prestasi, dan lain-lain.

Tapi show must go on! Data-data yang didapat AJI Surabaya mendapatkan nilai rentang upah pokok yang diterima jurnalis berdasarkan jenis media. Rentang upah ini idealnya berdasarkan urutan media yang mengupah jurnalisnya paling tinggi hingga yang paling rendah.

Cetak Rp.700.000,- s/d Rp 1.650.000,-
Televisi Rp.300.000,- s/d Rp 1.200.000,-
Radio Rp.730.000,- s/d Rp 1.500.000,-
Online Rp.700.000,- s/d Rp 1.250.000,-

Dan, berdasarkan survey terhadap jurnalis sebagai responden dan survey harga barang di pasar, maka Upah Layak Jurnalis Surabaya sebesar Rp 2,7 juta (rincian terlampir). Dan patokan upah tersebut adalah bagi para wartawan yang baru bergabung di media.

http://www.ajisurabaya.org/2009/01/rp-27-juta-upah-layak-jurnalis-surabaya.html

3 Jan 2009

Catatan Kritis Walhi Simpul Malang


Restorasi Ekosistem dan Layanan Birokrasi yang “Bio-krasi" 2009 ke Depan Perlu Dilakukan untuk Mewujudkan Hak Atas Lingkungan Masyarakat Malang

Beberapa fenomena persoalan lingkungan di Malang Raya beberapa waktu lalu (seperti kasus-kasus banjir di Kota Malang, tanah longsor, krisis air minum, eksploitasi air bawah tanah dengan sumur artesis, pencemaran Karangkates, eksploitasi ruang terbuka hijau atau RTH, pembangunan yang mengorbankan dan mengabaikan tata ruang) menunjukkan derajat yang pasti atas perilaku pemerintah yang tidak biokratis, yang secara tidak langsung menunjukkan kelengahan di dalam mengelola lingkungan (secara tersamar terlibat secara struktur dalam ekploitasi ekosistem yang mestia dia kelola).

Kalau dipertegas kelengahan itu dapat pula dilihat dari seringnya terjadi fenomena:

NODA LINGKUNGAN KOTA MALANG

1. Pengeksploitasi RTH
2. AMDAL formalitas belaka
3. Izin-izin eksploitasi RTH mudah
4. Kota ruang terbuka beton
5. Kota Adipura-pura
6. Nilai keteladanan lingkungan rendah
7. Etika bisnis rendah
8. Lingkungan hanya dimaknai tanam pohon
9. Anggaran pro-lingkungan tidak ada
10. Good governance hanya lips service.

Pembangunan Malang Raya khususnya di kawasan perkotaan dibangun dengan cenderung mengarah ke arah kapitalisasi yang mengeksploitasi lingkungan, yang telah menjadikan warganya menjadi tidak humanis, cenderung konsumtif, dan hedonis.

Contohnya di Malang Raya, kapitalisasi kota dipandang oleh pengambil kebijakan adalah untuk melancarkan arus ekonomi dan membuka lapangan kerja, pandangan ini tidak salah tetapi sesat, hal ini karena arus ekonomi yang dibangun adalah ekonomi untuk segelintir orang (elite tertentu saja) dan lapangan kerja yang dibangun hanya kelas buruh.

Mestinya yang dibangun adalah kelas pengusaha menengah. Saat ini kondisi usaha Kota malang adalah seperti gambaran sebuah kerucut di mana pada ujung atasnya ada sedikit pengusaha besar yang menguasai sektor-sektor ekonomi, sisi tengahnya pengusaha menengah berjumlah sedang, sementara itu sisi bawahnya paling banyak adalah usaha kecil. Seharusnya yang dibangun adalah seperti gambar belah ketupat di mana pada sisi atasnya usaha besarnya sedikit, sisi bawahnya usaha kecil sedikit, sementara itu pada sisi tengahnya usaha menengahnya besar (banyak). Bentuk belah ketupat ini merupakan perputaran arus ekonomi yang ideal karena akan terjadi pemerataan kesejahteraan, semua orang akan banyak menjadi tuan dan buruh untuk dirinya sendiri, bukan seperti sekarang dia menjadi buruh orang lain.

Keuntungan dengan dibangunnya banyak mall juga tidak diperhitungkan dengan seberapa jauh kerugiannya bila kehilangan kawasan ekologis, dan berapa jumlah mall ideal yang ada di kota Malang, pembangun mall baru justru akan membangkrutkan mall lama, ruko-ruko, dan sebagian pasar tradisional (karena banyak minimarket pun telah ditolerir masuk kampung dan kawasan-kawasan pasar tradisional). Oleh karena itu pembangunan Malang seharusnya menempatkan lingkungan di arus tengah kebijakan politik pembangunanya dan ekonomi menjadi subordinasinya.

Perjalanan 2009 mau tidak mau pemerintah daerah di Malang Raya harus melakukan restorasi ekosistem yang selama ini telah dieksploitasinya, karena sumber utama perusakan lingkungan dan atau pencemaran lingkungan di Malang Raya bersumber terbesar masih dari para pengambil kebijakan, restorasi dilakukan dengan tidak lagi mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat eksploitatif terhadap lingkungan, mengeluarkan anggaran yang pro lingkungan, tidak merevisi aturan daerah dengan melegalkan kesalahan-kesalahan keputusan atas ruang pada masa lalu hingga menjadi legal (khususnya pada aturan tentang tata ruang) dan mendorong perilaku bio-krasi, yakni perilaku birokrat/pemerintahan yang menimbang makhluk hidup, di mana dalam biokrasi, bukan saja manusia yang mesti ditimbang dan diwakili kepentingannya, melainkan juga binatang, ekosistem dan generasi mendatang. Bio-krasi adalah perilaku hijau yang mencegah agar persoalan-persoalan lingkungan tidak cenderung lebih maju dari kemajuan pembangunan itu sendiri.

Kesadaran masyarakat atas lingkungan yang saat ini masih cukup lebih tinggi dari para politisinya harus tetap memberikan kontrol bagi mereka yang ingin memegang kendali dan atau ingin berkuasa dengan memilih para politisi yang bukan “bodoh bekerja tetapi pandai berjanji”, masyarakat harus bernas menyimak politisi hijau atau partai hijau yang benar-benar dalam platform kejuangannya memasukkan lingkungan sebagai garis kejuangannya yang tidak sekedar memasukkan lingkungan sebagai pengumpul suara.

Malang, 2 Januari 2009

Juru bicara,

ttd

Purnawan D. Negara

Saat Literasi Dibenamkan Televisi


KOMPAS
Sabtu, 3 Januari 2009 00:53 WIB

Oleh Palupi Panca Astuti

Pernah mendengar hari tanpa televisi? Sejak tiga tahun terakhir, penetapan hari ini telah dikampanyekan beberapa lembaga yang prihatin terhadap konten atau isi tayangan di televisi. Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Nasional Hari Tanpa TV mengimbau para orangtua untuk mematikan televisi di rumah selama satu hari penuh dan menggantikannya dengan melakukan kegiatan yang lebih berguna.

Imbauan tersebut nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuk pemberitaan dan hiburan melalui layar televisi. Pengaruh televisi dalam keluarga Indonesia tampaknya sudah demikian kuat menyatu dengan keseharian masyarakat. Data Bank Dunia tahun 2004 menunjukkan, ada 65 persen lebih rumah tangga pemilik televisi di Indonesia. Bentuk media audio visual yang menarik dan lengkap dari si ”tabung ajaib” menjadikan ia lebih digandrungi dibandingkan dengan produk budaya lain, seperti buku.

Hiburan yang disajikan mampu menarik mayoritas penduduk menekuni tayangan televisi dalam kegiatannya sehari-hari. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, lebih tiga perempat (86 persen) dari seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas di Indonesia memiliki aktivitas rutin mengikuti acara televisi dalam seminggu.

Adapun untuk aktivitas literasi angkanya lebih kecil, yaitu 68 persen dari total jumlah penduduk usia tersebut yang membaca ragam sumber bacaan selama seminggu. Ragam bacaan yang ditekuni meliputi surat kabar, majalah, buku pelajaran, buku pengetahuan di luar buku pelajaran, dan buku cerita.

Minat baca

Televisi pada dasarnya adalah sebuah produk teknologi komunikasi. Tidak ada yang ”salah” dengan media yang menawarkan ragam tayangan audio visual tersebut. Hanya saja, pemanfaatannya saat ini dirasa semakin tak seimbang dengan porsi penggunaan produk sosial budaya lain, misalnya budaya membaca. Hal ini terbukti dari persentase penduduk yang memanfaatkan waktunya untuk menonton televisi jauh lebih banyak dibandingkan membaca.

Gejala rendahnya minat terhadap buku dimulai ketika terjadi booming televisi swasta di Tanah Air pada awal 90-an. Ketika televisi swasta pertama Indonesia lahir saat itu, hampir tidak ada yang menyangka jika pada satu dekade berikutnya akan ada belasan bahkan puluhan stasiun televisi swasta lain seperti sekarang ini dengan berbagai variasi tayangan.

Pada masanya dulu hanya televisi pemerintah yang mengudara dengan jam siaran terbatas dan komposisi acara hiburan yang juga terbatas. Aktivitas anggota rumah tangga, khususnya anak-anak, tidak melulu diwarnai dengan menonton televisi, tetapi juga membaca buku atau permainan yang mengandalkan olah fisik. Saat ini, sepulang sekolah, televisi dengan ragam acara hiburan dan saluran merupakan hiburan yang paling digemari anak-anak.

Daya tarik televisi sedemikian rupa sehingga ”pertemanan” anak dengan buku merupakan sesuatu yang langka. Jarangnya interaksi dengan bahan bacaan menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya pemahaman seseorang dalam membaca.

Dalam sebuah studi internasional yang rutin dilakukan untuk mengetahui perkembangan kemampuan membaca anak, khususnya yang duduk di bangku kelas empat (sekolah dasar) menunjukkan total skor yang dicapai anak Indonesia adalah 405 (tahun 2006).

Posisi ini berada di peringkat 36 dari 40 negara peserta, Indonesia hanya menempati posisi di atas negara-negara Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan. Studi yang bernama Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) ini dilakukan setiap lima tahun untuk mengukur tren kebijakan dan pencapaian kemampuan membaca anak dan praktik yang berkaitan dengan literasi dan pemahamannya.

Sarana membaca

Akan tetapi, perilaku seseorang yang kurang menyukai buku bukanlah satu-satunya penyebab rendahnya minat baca. Akses bahan bacaan yang terbatas, antara lain karena mahalnya harga buku, turut menyumbang kemalasan orang membaca. Dalam jajak pendapat Kompas tentang buku beberapa waktu lalu, sebagian besar (60 persen) responden menyatakan bahwa harga buku, khususnya buku bacaan baik fiksi maupun non fiksi, tergolong mahal. Sebanyak 70 persen responden juga mengaku tidak memiliki anggaran khusus untuk membeli buku setiap bulan.

Demikian juga fasilitas perpustakaan umum dirasakan belum memadai. Di beberapa negara maju, perpustakaan yang menyediakan tempat membaca yang nyaman dengan koleksi buku yang cukup lengkap merupakan fasilitas publik yang relatif mudah ditemukan. Kondisi tersebut berbeda 180 derajat dengan Indonesia yang agak cukup sulit menemukan perpustakaan yang layak, nyaman, dan kaya akan koleksi buku. Dalam sebuah penelitian jajak pendapat di 12 kota besar di Indonesia, lebih dari 50 persen responden menyatakan sulit menemukan perpustakaan di sekitar tempat tinggal mereka.

Opini masyarakat tentang sulitnya mengakses perpustakaan cukup beralasan. Menurut data Perpustakaan Nasional RI—sebagai satu-satunya lembaga negara yang mewadahi perpustakaan seluruh Indonesia—baru ada 6.181 perpustakaan di seluruh negeri. Jumlah itu terdiri atas perpustakaan di sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan umum yang disediakan pemerintah, serta perpustakaan khusus yang dimiliki oleh instansi atau lembaga-lembaga lain nonpemerintah. Jika dihitung per kapita berdasarkan jumlah penduduk saat ini, artinya setiap satu perpustakaan harus melayani sekitar 35.000 jiwa.

Beban yang berat, tetapi anggaran minim sering membuat beberapa perpustakaan akhirnya kolaps dan kemudian tutup. Jika mampu bertahan, yang dikorbankan adalah koleksi buku yang jumlahnya cenderung stagnan. Dengan daya tarik yang semakin berkurang, tak salah jika data pengunjung perpustakaan selama tiga tahun terakhir pun tidak menampakkan perubahan berarti. Tahun 2005 dan 2006, pengunjung perpustakaan di seluruh Indonesia sama-sama berkisar di angka 4,6 juta orang. Tahun 2007, angkanya malah berkurang menjadi 4,1 juta pengunjung.

Selain jumlah buku, kondisi fisik perpustakaan juga menjadi salah satu alasan gudang ilmu ini semakin dijauhi. Bandingkan dengan bangunan pusat perbelanjaan atau mal yang dimiliki pemodal besar, yang ”jorjoran” menggelontorkan dana untuk merias gedung yang menawarkan gaya hidup konsumtif. Kondisi sebaliknya terjadi dengan gedung perpustakaan, khususnya perpustakaan umum dan perpustakaan sekolah. Meski statusnya sebagai wahana ilmu pengetahuan, perhatian yang tidak sungguh-sungguh dari pemegang kebijakan membuat perpustakaan menjadi sekadar pelengkap.

Gedung yang sudah tua dan kusam, tidak nyaman, dan jumlahnya sangat sedikit adalah sebagian ciri perpustakaan di Tanah Air. Selain kondisi fisik gedung, koleksi buku pun terbatas. Teknologi informasi yang mampu menyediakan buku atau arsip elektronik juga masih jarang ditemui. Di sisi lain, orang tidak dapat mengandalkan toko buku sebagai tempat wisata ilmu pengetahuan. Selain jumlahnya juga belum terlalu banyak, lagi-lagi harga buku yang ”tidak ramah kantong” menjadi kendala orang memiliki buku.

Jika sedemikian lemahnya minat masyarakat terhadap buku, ditambah faktor eksternal yang membuat kegiatan membaca sebagai satu hal yang tidak mengasyikkan, wajarlah jika buku semakin jauh dari menggantikan posisi televisi sebagai agen pembelajaran dan hiburan. Suatu ironi, apalagi jika mengingat tayangan konsumtif dan tidak mendidik semakin deras ditawarkan si ”tabung ajaib” bernama televisi. (Litbang Kompas)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/03/00535067/saat.literasi.dibenamkan.televisi

1 Jan 2009

Refleksi Tahun 2008 PPATK

REFLEKSI TAHUN 2008
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

Kerjasama Internasional

Banyak hal yang telah ditorehkan oleh PPATK sepanjang tahun 2008. Hal ini ditandai oleh kehormatan besar yang diberikan oleh dunia kepada Indonesia. Lebih dari 260 pejabat senior dari 37 negara/juridiksi, 19 organisasi internasional dan 6 negara pengamat mengikuti forum pertemuan Asia/Pacific Group (APG) on Money Laundering di Nusa Dua, Bali.

Annual Meeting ke 11 dan Technical Assistance and Training ke 7 ini membahas tiga isu besar: Pertama, efektifitas membangun rezim pengawasan anti money laundering dan pendanaan terorisme; kedua, penyelidikan, identifikasi dan pelacakan kejahatan dan aset terorisme; ketiga, pembahasan isu perampasan dan penyitaan aset.

Hadir dalam pertemuan akbar tersebut antara lain Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Bapak Widodo A.S; Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Bapak Dr. Yunus Husein, yang sekaligus sebagai Co-chair APG; Commissioner of the Australian Federal Police (AFP), Commissioner Mick Keelty, yang juga sebagai Co-chair APG; Presiden Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering, Mr. Antonio Gustafo Rodrigues, serta Second Director (supervisor) of the Commercial Affairs Department Singapura, Mr.Ong Hian Sun yang akan menggantikan Dr. Yunus Husein sebagai Co-chair untuk masa bakti 2008-2010.

Dalam masa 2 tahun menjabat sebagai co-chair APG, Indonesia juga memperoleh kepercayaan untuk menyelenggarakan the 9th APG Typologies Workshop and Special Plenary Meeting pada tanggal 14-16 November 2006 di Jakarta, memimpin high level mission APG ke Timor Leste pada bulan February 2008, Beijing – China tanggal 12-13 Mei 2008 serta sidang pleno FATF 16-21 Juni 2008 di London. Hal ini menunjukan adanya apresiasi dunia internasional terhadap upaya-upaya Indonesia dalam membangun rezim anti money laundering yang efektif.

Dalam pertemuan di Bali tersebut di atas, Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) melakukan pula evaluasi terhadap Indonesia. Hasil dari penilaian tersebut, secara umum memberikan nilai yang cukup baik bagi Indonesia. Indonesia mendapatkan penilaian yang lebih baik dari status penilaian putaran pertama pada tahun 2002 dalam menerapkan 40 + 9 rekomendasi yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Mutual Evaluation Report (MER) Indonesia telah disetujui dan disepakati pula oleh seluruh negara anggota APG dalam Plenary Meeting pada tanggal 9 Juli 2008.

Selain itu APG memberikan apresiasi atas keberhasilan yang dicapai oleh Indonesia karena dinilai telah berada pada jalur yang benar dalam penanganan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Keberhasilan yang diperoleh ini tak lepas dari solidnya kerjasama dari seluruh lembaga terkait baik regulator (Bank Indonesia dan Bappepam-LK), lembaga penegak hukum (Polri dan Kejaksaan), Kementerian Polhukam, Depkumham, dan Deplu.

Pertemuan APG Group on Money Laundering yang berlangsung mulai tanggal 7-11 Juli 2008 di Nusa Dua, Bali - dinilai sukses, dengan bahasan substansi yang optimal. Para delegasi anggota APG memberikan penghargaan kepada Dr. Yunus Husein, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) / Co.Chair APG. Yunus Husein dalam masa kepemimpinannya bersama Commissioner of the Australian Federal Police (AFP), Commissioner Mick Keelty periode 2006 – 2008 dinilai telah memberikan warna tersendiri bagi kemajuan APG. Pada masa kepemimpinan Dr. Yunus Husein pula jumlah negara yang menjadi anggota APG bertambah, negara tersebut adalah Maladewam Timor Leste, Laos dan Vietnam. Kini negara anggota APG sebanya 38 Negera.

Selain dari itu PPATK secara konsisten aktif berperan serta dalam berbagai fora internasional antara lain forum APEC, Egmont, FATF dan APG. Dalam rangka kerjasama dengan mitra kerja, PPATK telah melakukan penandatangan Nota Kesepahaman (MoU) dengan Financial Intelligent Unit (FIU) FIU Amerika Serikat, FIU Brunei Darussalam, FIU Georgia, Kroasia dan Maldova. Dengan demikian sampai dengan Desember 2008, PPATK telah melakukan kerjasama dalam bentuk MoU dengan 28 (dua puluh delapan) FIU. Kerja sama dengan FIU negara lain tersebut sangat penting terutama berkaitan dengan pertukaran informasi intelijen di bidang keuangan.

Dalam rangka pertukaran informasi intelijen di bidang keuangan, sejak berdirinya PPATK hingga Desember 2008, telah dilakukan pertukaran informasi sebanyak lebih dari 261 kali dengan FIU negara lain seperti Australia, Belgia, Philifina, Amerika Serikat, Cook Island, Uni Emirat Arab, Malaysia, Swiss, Hongkong, Singapura, Macau, Inggris, British Virgin Island, Guernsey, Mauritius, Peru dan lain-lain. Pertukaran informasi intelijen di bidang keuangan tersebut dilakukan baik atas permintaan (by request) maupun atas dasar sukarela (spontaneous).

Sejalan dengan peran PPATK sebagai bagian dari dunia internasional yang ikut mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendaan terorisme, Asia – Pacific Economic Cooperation (APEC) memberi kepercayaan untuk mengadakan seminar “APEC Seminar on Securing Remittance and Cross Border Payment from Terrorist Use” di Jakarta pada tanggal 22-23 Oktober 2008. Hadir dalam pertemuan tersebut seratus peserta yang terdiri dari 14 ekonomi anggota APEC dan dari berbagai instansi terkait di Indonesia.

Pembahasan ini penting dilakukan mengingat besarnya arus dana lewat jasa pengiriman uang secara resmi (formal money remittance), sistem pengiriman uang alternative (alternative remittance system/ARS) dan pengiriman uang secara elektronis (wire transfer) di dalam meningkatkan perekonomian banyak negara serta penghidupan jutaan orang di dunia. Pemanfaatan metode pengiriman uang dengan berbagai cara ini telah melonjak secara signifikan. Bank Dunia memperkirakan jumlah peningkatannya dari US$ 132 Milyar pada tahun 2002 menjadi sekitar US$ 268 Milyar pada tahun 2006. Dalam perkembangannya jasa ARS dapat pula disalahgunakan oleh sebahagian orang untuk kegiatan pencucian uang atau pendanaan kegiatan terorisme, mengingat ARS tidak terdeteksi dalam sistem keuangan.

Data statistik pengiriman uang yang dikeluarkan oleh APEC menunjukkan bahwa Indonesia termasuk urutan ke empat dari lima besar pengiriman uang. Dana yang masuk kedalam negeri tahun 2002 sebanyak 1,259 juta dolar. Meningkat secara berturut turut sampai 2007 menjadi 1,489 juta dolar, 1,866 juta dolar, 5,419 juta dolar, 5,722 juta dolar dan 6,000 juta dolar. Jumlah pengiriman uang untuk tahun 2006 misalnya setara dengan 1.6% GDP Indonesia. Urutan pertama diduduki oleh China sebanyak 0.9%, kedua Mexico 0.1% Philipina 13% dari GDP masing-masing negara tahun 2006.

Besarnya dana dari pengiriman uang baik formal dan informal ini memiliki potensi dijadikan sebagai sarana pencucian uang maupun pendanaan terorisme, yang pada akhirnya dapat menggangu stabilitas keuangan maupun kemanan negara. Lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank dan lainnya kini peduli untuk dapat membangun sistem layanan pengiriman remintasi yang lebih baik lagi, agar lalu lintas remintasi dapat dikelola lebih aman, tertata dan tercatat.

Kerjasama Dalam Negeri

Dalam rangka kepentingan nasional, sebagai sebuah upaya didalam memberikan kontribusi positif bagi pemilihan umum (pemilu) yang bersih dan demokratis, yang merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. PPATK bersama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menandatangani Nota Kesepahaman Kerjasama dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terkait Dana Kampanye Pemilihan Umum pada hari Kamis (6/11), di Jakarta.

Sebagaimana diketahui upaya untuk menyembunyikan dan menyamarkan asal usul dana yang merupakan hasil tindak pidana (dikenal dengan tindak pidana pencucian uang) semakin canggih dan beragam, salah satunya dengan cara menyumbangkan dana yang merupakan hasil tindak pidana untuk kegiatan dalam rangka pemilu. Bangsa ini tidak menginginkan kepemimpinan di negeri ini diciptakan oleh money politic apalagi dananya berasal dari uang hasil tindak pidana.

MoU (Memorandum of Understanding) antara PPATK dengan BAWASLU merupakan MoU dalam negeri yang ke-22. PPATK telah menandatangani MoU dengan lembaga-lembaga di dalam negeri yang mayoritas merupakan lembaga penegak hukum dan regulator industri keuangan lembaga seperti KPK, Kapolri, Kejaksaan, Dirjen Pajak, BI, Bapepam-LK dan lainnya.

Hasil Analisis dan Kepatuhan

Pelaksanaan pembangunan rezim anti pencucian uang yang efektif di Indonesia haruslah dilandasi oleh landasan yang kokoh, sehingga pelaksanaan kinerja yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan koridor dan fokus terhadap pencapaian-pencapaian yang telah digariskan. Barometer dalam pelaksanaan tugas tersebut dituangkan dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Tahun 2006-2010 sebagai pedoman didalam pelaksanaan aktifitas PPATK sepanjang tahun 2008. Adapun langkah-langkah strategis yang telah dilakukan oleh PPATK sepanjang tahun ini meliputi:

Peningkatan peran dan fungsi PPATK dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU); Peningkatan kepatuhan kewajiban pelaporan, Peningkatan efektifitas hasil analisis dengan strategi meningkatkan kualitas hasil analisis mengenai indikasi terjadinya TPPU dan/atau tindak pidana asal (predicate crimes) bagi lembaga penegak hukum; Pengembangan kerangka dasar penerapan manajemen risiko (aturan, peraturan pelaksana, dan metodologi) untuk meningkatkan kepatuhan pihak pelapor; Peningkatan peranan teknologi dan informasi (TI) dalam mendukung kinerja PPATK dan Penyediaan dan pengembangan manajemen internal PPATK.

Untuk menunjang hal tersebut diatas PPATK melakukan analisis terhadap Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Secara umum fokus sasaran strategis yang dilakukan adalah menyediakan hasil analisis yang dapat bermanfaat serta mampu mendukung aparat penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum. Sehingga hasil analisis yang disampaikan kepada aparat penegak hukum mampu memberikan informasi yang relevan atas kemungkinan terjadinya tindak pidana asal ataupun dilakukannya upaya penegakan hukum atas tindak pidana pencucian uang yang diduga dilakukan oleh pihak terlapor.

Sampai dengan Desember 2008 terdapat 22.824 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang telah disampaikan oleh PJK kepada PPATK. Sebanyak 625 hasil analisis dari 1.240 LTKM telah disampaikan oleh PPATK kepada aparat penegak hukum, yang terdiri dari: 602 kasus/hasil analisis disampaikan kepada Kepolisian (yang merupakan hasil analisis dari 1.041 LTKM); dan 23 kasus/hasil analisisi disampaikan kepada Kejaksaan (yang merupakan hasil analisis dari 199 LTKM).

(Grafik lihat di link).

Selain itu untuk meningkatkan Pengawasan dan Kepatuhan terhadap PJK, sampai dengan akhir 2008 PPATK telah melakukan audit kepatuhan terhadap 269 PJK. Program audit kepatuhan dilakukan secara terprogram dan terencana. Selain dilakukan perluasan PJK yang diaudit juga dilakukan peningkatan kualitasnya. Dari hasil pelaksanaan audit kepatuhan tersebut, diketahui bahwa beberapa PJK belum memahami kewajiban pelaporan sesuai dengan UU TPPU dan beberapa PJK juga belum mampu mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan. Ketidakmampuan dalam mengidentifikasi disebabkan belum adanya pelatihan yang memadai mengenai cara pengidentifikasian transaksi keuangan mencurigakan, dan belum adanya sarana pendukung untuk mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan.

Atas dasar hasil audit kepatuhan tersebut, PPATK menyampaikan umpan balik kepada PJK yang diaudit untuk perbaikan di masa yang akan datang, dan hasil audit tersebut juga disampaikan kepada regulator dari PJK yang bersangkutan untuk bahan pembinaan dalam upaya meningkatkan kepatuhan PJK dalam memenuhi kewajiban pelaporan LTKM dan LTKT. Dampak dari kegiatan tersebut antara lain adalah meningkatnya pelaporan LTKM dan LTKT kepada PPATK.

Beberapa PJK yang sebelumnya tidak melaporkan LTKM, setelah dilakukan audit mulai dapat mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan dan selanjutnya dilaporkan kepada PPATK sebagai LTKM. Sampai sejauh ini, PJK yang paling banyak melaporkan ke PPATK adalah Bank Umum sebanyak 119 (91,54%) yang diikuti oleh PJK lainnya masing-masing Perusahaan Valuta Asing sebanyak 34 (4,23%), Perusahaan Efek sebanyak 29 (17,16%).

Berdasarkan Pasal 13 UU TPPU, Penyedia Jasa Keuangan (PJK) wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara. Tingginya intensitas dan jumlah pelaporan ini memerlukan sistem aplikasi komputer yang terhubung secara langsung (on line) dari masing-masing PJK dengan PPATK. Sejauh ini PPATK telah menerima 6.375.994 Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) dari 264 PJK. (Rincian lihat di link).

Selain itu berdasarkan Pasal 16 UU TPPU, setiap orang wajib melaporkan uang tunai sejumlah Rp 100.000.000,- atau lebih atau dalam mata uang asing lain yang nilainya setara yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Selanjutnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja kepada PPATK. Berkaitan dengan terjadinya pelanggaran ketentuan di atas, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib melaporkan pula kepada PPATK dalam waktu lima hari kerja.

PPATK telah menerima laporan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebanyak 3.014 laporan yang berasal dari 7 wilayah kerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu Jakarta (Bandara Soekarno-Hatta), Kepulauan Riau (Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun), Bandung (Kantor Pelayanan Kantor Pos) dan Batam (Batam City Center dan Sekupang), Denpasar dan Medan. (Rincian lihat di link).

Sasaran yang akan dicapai tahun 2009

PPATK menjalankan perannya secara optimal di dalam membantu penegakan hukum dan membantu menciptakan sistem keuangan yang stabil dan terpercaya. Untuk itu PPATK telah menetapkan Rencana Strategis (Renstra) untuk jangka waktu 2007 hingga 2011 dan Rencana Kegiatan Tahun 2009. Renstra dimaksud dirumuskan pada visi dan misi PPATK.

“Menjadi Lembaga Independen yang bergerak di Bidang Intelijen Keuangan yang Handal dan Terpercaya baik di Dalam maupun di Luar Negeri” (Visi).

“Menyediakan Informasi Intelejen di Bidang Keuangan yang Berkualitas dan Bermanfaat bagi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, serta Mendukung Terciptanya Sistem Keuangan yang Stabil dan Dapat Terpercaya.” (Misi)

Jakarta, Desember 2008

Bambang Permantoro
Wakil Kepala PPATK

Sumber: http://www.ppatk.go.id/