31 Dec 2008

AJI: Jurnalis Masih Rentan Menjadi Korban Kekerasan


Selasa, 30 Desember 2008 21:59 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Aksi anarkis masih menghantui tugas jurnalis di Indonesia. Dalam setahun terakhir, tercatat setidaknya 60 tindak kekerasan yang dialami jurnalis ketika sedang melakukan tugas peliputan. "Wilayah yang paling berbahaya adalah Gorontalo, Jakarta dan Ternate," ujar Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nezar Patria, ketika memberikan laporan akhir tahun kondisi kebebasan pers di Indonesia, di Jakarta, Selasa (30/12).

Berdasarkan catatan AJI, jenis kekerasan tersebut meliputi serangan fisik (21 kasus), ancaman (19 kasus), pengusiran dan larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus) dan penyanderaan (1 kasus). Pelaku ancaman umumnya dilakukan oleh massa pendukung salah satu kandidat dalam pemilihan kepala daerah (20 kasus), aparat pemerintah (11 kasus), anggota polisi (11 kasus), anggota TNI (8 kasus), hakim (3 kasus), aktivis LSM (2 kasus), orang tidak dikenal (4 kasus) dan preman (1 kasus).

Nezar menerangkan, maraknya aksi kekerasan terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang penyelesaian sengketa pers sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Mestinya, kata dia, setiap sengketa pers diselesaikan melalui mekanisme hak jawab dan mengadukan ke Dewan Pers jika masyakarat masih kurang puas dengan mekanisme itu. "Pengaduan ke polisi dan gugatan di pengadilan adalah pilihan terakhir jika dua mekanisme itu menemui jalan buntu," katanya.

AJI juga mencatat tahun 2008 sebagai tahun yang suram bagi kebebasan pers. Ketua Divisi Advokasi AJI Indonesia, Margiyono menjelaskan, ancaman itu datang dari pemberlakuan sejumlah Undang-undang yang bersinggungan dengan praktek jurnalistik seperti UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, UU No. 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi.

Undang-Undang Pemilu bersentuhan dengan pers karena mengatur pemberitaan. Ancaman paling serius dari aturan itu ada dalam pasal 99 karena bisa berakibat pada penghentian sementara acara siaran, pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, denda, pembekuan acara, pencabutan izin, siaran dan izin penerbitan media massa. "Berbagai bentuk kontrol, bahkan pembredelan merupakan norma yang bertentangan dengan prinsip kebebasan pers," ujar Margiyono.

Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik menimbulkan kegundahan di kalangan jurnalis kerena memuat ancaman pidana 6 tahun penjara bagi pelaku penghinaan melalui internet. Menurut Margiyono, ancaman hukuman itu tidak selaras dengan kecenderungan dunia yang menghapuskan delik penghinaan dari hukum pidana. "Alih-alih menghapuskan criminal defamation, undang-undang itu justru mengancam dengan hukuman 6 kali lipat dibanding ancaman dalam KUHP," katanya.

Untuk itu, AJI menghimbau pemerintah dan DPR untuk tidak membuat produk-produk hukum baru yang membatasi gerak kebebasan pers. "Kebebasan pers adalah hak masyarakat yang dilindungi undang-undang," katanya.

AJI juga menghimbau masyarakat agar tidak menghalang-halangi jurnalis yang meliput, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk memblokade pemberitaan. "Kekerasan terhadap pers bukan hanya tindak kriminal yang diancam pidana, namun juga melanggar hak masyarakat untuk memperoleh informasi," kata dia.

Margiyono menerangkan, berbagai persoalan itu merupakan gambaran buruk bagi proses reformasi. Menurut laporan tahunan Reporters Sans Frontiers, organisasi yang memperjuangkan kebebasan pers di dunia, indeks kebebasan Indonesia tahun ini menurun dari posisi 100 pada tahun sebelumnya menjadi urutan 111 pada tahun ini.

"Selama ini, indeks tersebut dipercayai publik internasional sebagai tolak ukur demokrasi suatu negara," kata Margiyono. RIKY FERDIANTO

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/12/30/brk,20081230-153174,id.html

30 Dec 2008

Suara Terbanyak Tentukan Anggota Legislatif


KORAN TEMPO
Rabu, 24 Desember 2008

Penentuan dengan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat.

JAKARTA --Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penentuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

Dengan begitu, penentuan anggota legislatif berdasarkan 30 persen dari bilangan pembagi pemilih atau nomor urut dinyatakan tidak berlaku. "Ini inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. saat membacakan putusan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi kemarin.

Uji materi terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dimohonkan oleh Muhammad Sholeh, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014.

Sholeh berada di nomor urut tujuh calon anggota legislatif dari daerah itu. Ia menilai Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat telah melanggar hak konstitusionalnya. Ia lalu menempuh uji materi. Walau begitu, uji materi itu, "Bukan hanya untuk saya, tapi bagi semua calon," katanya.

Dalam uraian pertimbangan, majelis hakim menyatakan penentuan calon terpilih harus didasarkan pada siapa pun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan. Dengan sistem ini, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon legislatif. "Maka, akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak," kata hakim konstitusi Muhammad Alim.

Dengan putusan itu, Alim melanjutkan, tidak ada lagi standar ganda dalam penentuan anggota legislatif, yaitu menggunakan nomor urut sekaligus suara terbanyak.

Selain itu, penentuan anggota legislatif dengan nomor urut, menurut majelis hakim konstitusi, berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya. Sekaligus cara ini mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Apalagi pemilihan anggota legislatif sekarang ini di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membuat peraturan pelaksananya. "Kami akan membuat peraturan KPU untuk mengikuti keputusan ini," kata Andi Nurpati, anggota Komisi Pemilihan Umum, kemarin.

Ia menegaskan, putusan Mahkamah Konstitusi itu juga harus dilaksanakan oleh seluruh partai politik dalam menentukan anggota legislatifnya.

Selain memutuskan ihwal pasal penentuan calon anggota legislatif, majelis hakim konstitusi memutuskan menolak pengujian dua pasal lainnya dari Undang-Undang Pemilihan Umum Legislatif, yakni tentang penghitungan sisa kursi legislatif dan kuota 30 persen bagi perempuan di legislatif.

Majelis berpendapat, pemohon tidak beralasan mengajukan uji materi. Soal kuota 30 persen, misalnya, majelis hakim mengakui pasal itu diskriminatif. Namun, pasal tersebut dinilai tidak melanggar konstitusi karena bertujuan meletakkan dasar-dasar yang adil bagi laki-laki dan perempuan.TITIS SETIANINGTYAS MARIA HASUGIAN

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/24/headline/krn.20081224.151946.id.html

------------------------------------------


Selasa , 23 Desember 2008 19:52:09

MK KABULKAN SEBAGIAN PERMOHONAN UJI UU PEMILU

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Hal ini dinyatakan Ketua MK, Moh. Mahfud MD dalam pembacaan putusan perkara No. 22&24/PUU-VI/2008, Selasa (23/12), di ruang sidang pleno MK.

Perkara No. 22/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh Muhammad Sholeh, calon anggota DPRD Jawa Timur periode 2009-2014 untuk daerah pemilihan satu Surabaya-Sidoarjo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, Perkara No 24/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh perorangan warga negara, antara lain, Sutjipto, S.H., M.Kn. (Calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat), Septi Notariana, S.H., M. Kn., (Calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat) dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn., (calon pemilih 2009). Mereka meminta MK menyatakan Pasal 205 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 214 UU PEMILU bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 UU a quo yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30 persen dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30 persen dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30 persen dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta pemilu adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Hal tersebut, menurut MK, merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem, terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil.

Dilihat dari dimensi keadilan dalam pembangunan politik, pada saat ini Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, DPD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga menjadi adil pula jika pemilihan anggota DPR atau DPRD juga bersifat langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik partai politik, sehingga setiap calon anggota legislatif dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.

Selain itu, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.

Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing Caleg. “Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak,” ucap Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi.

Bahwa dengan adanya pengakuan terhadap kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law) sebagaimana diadopsi dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945, artinya setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum, memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 UU 10/2008 mengandung standar ganda sehingga dapat dinilai memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama sehingga dinilai tidak adil.

Dalam putusan ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). (Wiwik Budi Wasito)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2065

23 Dec 2008

Kasus Perburuhan di Malang TV Selesai

Kasus perselisihan perburuhan antara anggota AJI Malang yang juga karyawan Malang Televisi (Malang TV), Arys Dody Hermawan, dengan manajemen Malang TV berakhir.

Tahun Ini Kekerasan terhadap Pers Meningkat


TEMPO Interaktif
Selasa, 23 Desember 2008 15:48 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap pers pada 2008 meningkat dibanding tahun lalu. Tercatat kasus kekerasan terhadap pers pada tahun ini sebanyak 17 kasus dan tahun sebelumnya hanya 12 kasus.

Menurut 'Catatan Akhir Tahun 2008 Lembaga Bantuan Hukum Pers' yang dikeluarkan Selasa (23/12), pada 2008 jumlah kasus kekerasan fisik yang terjadi selama 2008 sebanyak 10 kasus. Kekerasan fisik yang terjadi bersifat penganiayaan berbentuk pemukulan, pelemparan, atau pengeroyokan.

Sedangkan jumlah kasus kekerasan non-fisik yang terjadi selama 2008 yang berhasil dipantau oleh Lembaga Bantuan Hukum Pers sebanyak tujuh kasus. Kekerasan non-fisik kerap terjadi di lapangan, baik itu masalah peliputan maupun pemberitaan yang berakibat munculnya friksi-friksi dengan pihak lain. Kekerasan tersebut bisa berbentuk penyegelan kantor penerbitan, unjuk rasa dan yang paling ekstrim adalah teror atau ancaman yang ditunjukkan kepada perusahaan media maupun wartawan.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Hendrayana, kekerasan non-fisik yang banyak terjadi adalah pelarangan peliputan, pengusiran, dan perampasan alat kerja pers. "Kekerasan non-fisik yang paling mengancam kebebasan pers adalah pelaporan secara hukum melalui pemberitaan atau peliputan yang dilakukan wartawan yang dianggap sebagai upaya pencemaran nama baik atau upaya yang mengarah pada perbuatan tidak menyenangkan," kata Hendrayana.

Pelaku dominan kekerasan fisik dan non-fisik, menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers, yang paling dominan dilakukan oknum tentara nasional Indonesia dan polisi. Oknum tentara yang tercatat pada 2008 melakukan bentuk kekerasan fisik sebanyak empat kasus dan non-fisik dua kasus. Oknum polisi bentuk kekerasan fisik sebanyak satu kasus dan non-fisik tiga kasus. Sisanya, dilakukan oleh aparat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan mahasiswa.

Menurut Hendrayana, kalangan militer dan polisi menjadi pihak yang sering melakukan kekerasan terkait kewenangannya sebagai aparat keamanan. Sedangkan aparat pemerintahan banyak dilakukan oleh pejabat struktural yang menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan. ANTON APRIANTO

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/12/23/brk,20081223-152320,id.html

-----------------------------------------------------------------

Siaran Pers

23 Desember 2008

CATATAN AKHIR TAHUN 2008: “KEBEBASAN PERS MASIH DALAM ANCAMAN”

Aparat Negara, Pelaku Dominan Pemberangus Pers

Sepanjang tahun 2008, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mencatat kondisi kebebasan pers di Indonesia sangat memprihatinkan. Sejak 1998 reformasi digulirkan bukannya kebebasan pers semakin membaik, pada tahun 2008 justru kondisi pers di Indonesia mengalami kemunduran yang signifikan. Kasus-kasus kekerasan fisik dan non fisik terhadap jurnalis masih dominan, hal ini menjadi ancaman sangat serius terhadap keselamatan jurnalis dalam menjalankan tugas profesinya. Di luar itu gugatan terhadap pers karena pemberitaannya terus bermunculan.

Ditinjau dari perubahan kondisi pers dari periode ke periode terus mengalami pergerakan seiring perubahan politik dan peta kekuatan di Indonesia. Tahun 2008 merupakan rekor sejarah terburuk atas kondisi kebebasan pers di Indonesia sepanjang reformasi. Dimana tahun ini 3 orang jurnalis dipidanakan karena tulisan pemberitaan yang dibuat, dan kini ditahun 2008, 2 orang warga negara Indonesia yang menggunakan sarana media informasi yang tersedia pada surat pembaca dalam surat kabar harian diancaman dengan tuntutan ganti rugi secara perdata dan juga diancam tuntutan penjara. Kebijakan hukum kolonial masih diterapkan dengan tetap diberlakukannya pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP ditambah ketentuan hukum baru yang lebih refresif dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 (Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi ancaman serius bagi aktivitas jurnalisme oleh wartawan termasuk jurnalisme yang dibuat oleh masyarakat melalui surat pembaca maupun blog.

Kasus yang terjadi terhadap Upi Asmaradhana di Makasar merupakan bentuk nyata represi yang dilakukan pemerintah untuk mengekang kemerdekaan pers. Upi Asmaradhana dilaporkan pidana karena menggalang koalisi yang menentang pernyatan Kapolda Sulawesi Selatan Sisno Adhiwinoto yang menyatakan wartawan bisa langsung dipidanakan tanpa harus menempuh mekanisme penyelesaian sengketa pers. Di luar Itu Kwe Meng Luan dan Khoe Seng Seng setelah digugat perdata juga dilaporkan polisi dan sedang dalam proses peradilan pidana karena tulisannya di surat pembaca. Narliswandi Piliang menulis di blog di laporkan oleh anggota DPR RI dengan mendasarkan pada UU ITE yang ancaman pidananya 6 tahun dan denda 1 miliar rupiah (pasal 27 UU No.11/2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik).

Setiap rentetan kejadian penghalang-halangan memperoleh informasi dan mengemasnya sebagaimana pers bekerja LBH Pers mencatat dan menanganinya dengan variasi lawan pers. Dekadensi semacam ini disebabkan diantaranya karena tidak ada semangat atau kemauan politik, baik dari kalangan aparatur negara atau bahkan dikalangan masyarakat, hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, ternyata bukan merupakan sebuah jaminan atas pelaksanaan kebebasan pers dalam berkiprah. Dengan kata lain lebih cenderung menyukai cara-cara politik yang lama, status quo. Bahwa perspektif ini setidaknya dapat dilihat dari vonis perkara Koran Tempo melawan P.T. RAPP atas pemberitaannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengalahkan Koran Tempo, Koran Tempo melawan Asian Agri di Pengadilan Jakarta Pusat, Gugatan Munarman terhadap Koran Tempo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pelaporan secara pidana oleh PT. Duta Pertiwi, Tbk terhadap Sdr. Khoe Seng-Seng dan Kwee Meng Luan dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pelaporan pidana di kepolisian oleh Alvin Lie terhadap Narliswandi Piliang, pengaduan pidana oleh Polda Makasar terhadap Upi Asmaradhana, dan penyerangan terhadap seorang wartawan RCTI yang bernama Delvis oleh TNI AL, serta juga penyerangan terhadap wartawan Indosiar yang bernama Endro Bawono oleh mahasiwa Universitas Kristen Indonesia, yang kesemuanya dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi profesinya sebagai jurnalis dan insan pers. Kasus Bersihar Lubis wartawan yang menulis opini di Koran Tempo dijatuhi hukum pidana juga sebuah kemunduran bagi dunia pers.

Serta ditambah pula dengan penolakan permohonan Judicial Review atas ketentuan hukum sanksi pidana yang masih mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers secara konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yakni pengujian Pasal 207, 310, 311, dan 316 KUHP terhadap UUD 1945. Pemenjaraan jurnalis, dan ancaman secara perdata dan pidana bagi warga negara Indonesia yang menggunakan sarana media informasi yang tersedia jelas akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di masa yang akan datang karena akan menimbulkan ketakutan bagi jurnalis dan media serta warga negara Indonesia dalam menggunakan peran dan fungsi pers sebagai pilar demokrasi yang ke-empat dalam melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol sosial terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Hal ini perlu dicermati mengingat, lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers masih sebatas law reform diatas kertas saja, keadaan tersebut tidak diimbangi dengan suatu pengetahuan serta kemauan politik terhadap perkembangan peradaban manusia yang tumbuh di dalam suatu Negara terhadap masyarakatnya dalam bidang kebebasan memperoleh informasi.

Di tahun 2008 ini pula terjadi keprihatinan juga terhadap persoalan perburuhan di institusi pers. Banyaknya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan menjadi hambatan bagi pers juga dalam melanjutkan tugas dan fungsinya secara optimal. Minimnya kesejahteraan para jurnalis secara tidak langsung dapat mempengaruhi suatu nilai informasi kebenaran yang disampaikan kepada masyarakat, dengan kata lain para jurnalis beserta pendukungnya lebih mementingkan nilai jual atau keutungan semata daripada menghasilkan sebuah karya jurnalistik yang bermutu, karena alasan kesehjateraan, sehingga bisa mengarah pada budaya sogok/suap yang akan berpengaruh pada independensi atau berakibat pada pemberitaan yang tidak fear (berimbang).

Dalam kurun waktu Januari – Desember tahun 2008, LBH Pers telah menerima 32 (tiga puluh dua) pengaduan, dan berdasarkan jenis perkaranya terbagi dalam 18 kasus sengketa perburuhan pers, 11 perkara pidana, 2 pengaduan perkara perdata, dan 1 pengaduan perkara tata usaha negara. Penanganan kasus periode Januari – November 2008 telah kami bagi dalam dua periode. Periode Januari – Mei 2008, Divisi Litigasi telah menerima 13 (tiga belas) pengaduan. Dari 13 (tiga belas) pengaduan tersebut 4 (empat) kasus yang ditangani dan 9 (sembilan) kasus sifatnya hanya konsultasi. Sedangkan periode Juni – Desember 2008, Divisi Litigasi menerima 20 (dua puluh) pengaduan, 14 (empat belas) ditangani dan 6 (enam) kasus lainnya bersifat pemberian konsultasi. Jumlah pengaduan dan penanganan kasus LBH Pers ini lebih banyak dari pada tahun sebelumnya yang hanya menerima pengaduan sebanyak 25 kasus.

Di samping LBH Pers langsung menangani kasus baik di pengadilan maupun di luar pengadilan oleh Divisi Litigasi , LBH Pers juga melakukan penelitian melalui Divisi Non Litigasi. Dalam temuan LBH Pers Kekesan fisik yang menimpa wartwan semakin memperhatinkan, temuan LBH Pers berdasarkan monitoring, yang diambil dari sampling 18 online nasional, dan 5 media cetak nasional menunjukkan kebebasan pers di Indonesia semakin mendapat ancaman serius.

Kekerasan fisik terhadap wartawan berdasarkan temuannya diantaranya penganiayaan, pelemparan, pemukulan, dan pengeroyokan. Aparat hukum yaitu Tentara nasional Indonesia (TNI) dan polisi adalah pelaku yang mendominasi meraih angka tertinggi, sehingga bisa diartikan bahwa tindakan represif terhadap wartawan tahun 2008 cenderung melawan kekuasaan atau kekuatan Negara bersenjata.

Perlakuan kekerasan yang juga dialami oleh Wartawan Seputar Indonesia, M. Yusuf dikeroyok oleh lurah di wilayah Bulu Kumba Sulsel, makasar. Lurah bernama Andi Baso dan stafnya menyendera diruangan kerja dan memukulinya beramai-ramai, juga tindakan yang premanisme yang tidak bisa ditolerir .

Selain kekerasan fisik yang dikategorikan kekerasan non fisik di dapat 7 kasus dengan jenis pelarangan peliputan dengan cara melarang mamasuki area kegiatan yang akan diliput, pemukulan peralatan seperti perusakan kamera, pengusiran dengan mendorong, perampasan alat kerja seperti merebut paksa kamera. Terlihat situasi baru dimana ormas yang bernama Kafilah Syuhada, Media Center di Sulawesi Selatan, bentuk pelarangan peliputan, mengharuskan memakai ID card yang dikeluarkan oleh kafilah tersebut. Media center adalah media pengubung anatara wartwan dan masyarakat atas suatu yang layak diketahui masyarakat. Bukannya membuka luas informasi tapi media center ini mempersempit ruang mendapatkan informasi.

Gugatan perdata terhadap media pers berjumlah 30 kasus, pidana 25 kasus, dan kekerasan fisik berjumlah 10 kasus dan no fisik 7 kasus adalah bentuk nyata bahwa pers dalam belenggu ancaman yang tentu mengarah mematikan kebebasan pers mendatang.

Ancaman Pers di tahun 2008

1. Aparat Negara TNI dan polisi menjadi pelaku kekerasan terhadap pers yang dominan.

2. DPR dan Pemerintah dalam membuat undang-undang tidak mencerminkan atau mengakomodasi kebebasan pers, seperti laihirnya UU ITE yang membuat ancaman hukuman lebih tingi daripada KUHP. Dalam hal ini kekuatan politik masih terus menjadi musuh pers.

3. Pengusaha dan tokoh masyarakat menggugat pers artinya wartawan atau pers menghadapai kekuatan modal.

4. Kalangan pers sendiri belum sepenuhnya memahami proses penyelesaian kasus pers dalam perkara pidana, sehingga keinginan aparat Negara dalam hal ini polisi tetap tidak mau menggunakan UU pers.

5. Belum adanya kepastian hukum dalam setiap kasus pers yang diadili di pengadilan, Hakim dalam memutuskan perkara pers tidak menggunakan acuan putusan terdahulu /yurisprudensi menjadikan sistem.

Rekomendasi:

Berdasarkan gambaran kondisi kebebasan pers sekarang ini, Lembaga Bantuan Hukum Pers melihat kebebasan pers di Indonesia masih dalam ancaman dengan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengintervensi kebebasan pers, serta masih rentannya tekanan, ancaman yang dihadapi wartawan dalam melaksanakan pekerjaan jurnalistik, dan bayang-bayang PHK yang dilakukan manajemen terhadap karyawannya. Sehingga perlu adanya jaminan perlindungan hukum.

Kepada Pemerintah:

1. Setiap regulasi yang dibuat harus menjamin kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

2. Jaminan pemenuhan hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi bagi masyarakat.

3. Memperkuat peran Dewan Pers sebagai lembaga penyelesaian sengketa pers dalam penyelesaian sengketa pers.

4. Merubah paradigma rezim ketertutupan dengan membuka akses informasi kepada masyarakat untuk terwujudnya clean and good governance.

5. Tidak melakukan intervensi terhadap kebebasan pers dengan menghambat, dan menekan pers.

Kepada Lembaga Penegak Hukum (Hakim, Polisi, Jaksa dan Advokat):

1. Mendahulukan penggunaan UU Pers dalam menyelesaikan kasus yang terkait dengan sengketa pers.

2. Aparat penegak hukum terutama hakim dalam menerima, memeriksa dan mengadili sengketa pers hendaknya menggunakan UU Pers (primaat/privail) sebagai landasan hukum dibandingkan menggunakan aturan hukum lainya seperti KUHP.

3. Aparat penegak hukum terutama kepolisian dalam menyidik kasus pers terlebih dahulu harus memerintahkan pihak pengadu untuk menempuh mekanisme hak jawab, hak koreksi dan/atau pengaduan ke Dewan Pers terlebih dahulu jika mengadukan tindak pidana yang berkaitan dengan sengketa pers dan meminta keahlian Dewan Pers sebelum menentukan proses hukum lebih lanjut.

4. Aparat penegak hukum terutama Advokat harus menghormati dengan tidak mengadukan kepada kepolisian dan/atau melayangkan gugatan kepada pengadilan melainkan terlebih dahulu menyelesaiakan sengketanya kepada Dewan Pers sebagaimana ditetapkan oleh UU Pers.

Kepada Parlemen/Legislatif (DPR RI):

1. Memberikan partisipasi yang luas kepada masyarakat dalam setiap pembuatan, pembahasan rancangan undang-undang.

2. Meningkatkan fungsi kontrol terhadap pemerintah dalam mengawal kebebasan pers di Indonesia.

Kepada perusahaan media:

1. Memberikan ruang yang luas kepada wartawan untuk meningkatkan profesionalisme wartawan

2. Menghargai hak-hak karyawan dengan menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja, apalagi di-PHK atas dasar tulisan kritis wartawannya.

3. Meningkatkan solidaritas antar media dalam memperjuangkan kemerdekaan pers.

Kepada Pekerja pers :

1. Kalangan jurnalis harus menguasai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

2. Terus meningkatkan profesionalisme wartawan dalam melaksanakan kerja jurnalistik.

3. Wartawan dituntut untuk menulis dengan dasar KEJ dan UU Pers 1999, agar menghindari jeratan hukum dan atau gugatan perdata.

4. Tetap terus melaksanakan peran dan fungsi pers dengan Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

5. Merapatkan barisan terhadap setiap kebijakan yang menghambat dan mengancam kebebasan pers.

Kepada Masyarakat:

1. Adanya pemahaman masyarakat terhadap peran dan fungsi pers dalam menyerbarluaskan gagasan dan informasi kepada publik.

2. Menempuh upaya penyelesaian sengketa pers melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam undang-undang pers yakni melalui hak jawab, hak koreksi, mengadukan ke organisasi wartawan atau ke Dewan Pers sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam mengontrol pers.

Jakarta, 23 Desember 2008

Hendrayana, S.H. Sholeh Ali, S.H. M. Halim, S.H.Direktur Eksekutif Kadiv. Litigasi Kadiv. Non. Litigasi

http://www.lbhpers.org/?dir=perstampil&id=37#Scene_1

Nilai Korupsi di Jawa Timur Mencapai Rp 1,3 Triliun

KORAN TEMPO
Senin, 22 Desember 2008


Korupsi mengakibatkan jumlah orang miskin meningkat.

MALANG -- Malang Corruption Watch (MCW) mengajak seluruh masyarakat Jawa Timur menyatakan perang terhadap korupsi. Permintaan ini disampaikan karena korupsi di Jawa Timur, berdasarkan hasil riset MCW, sudah pada tahap gawat darurat. "Ibarat orang sakit, Jawa Timur sudah kronis," kata koordinator Badan Pekerja MCW, Zia Ul Haq, dalam pemaparan hasil riset di kantor MCW kemarin.

Hasil riset MCW tentang korupsi di Jawa Timur menemukan, nilai kerugian negara akibat korupsi pada 2008 sebesar Rp 1,3 triliun. Jumlah ini merupakan akumulasi kerugian negara di 20 kota dan kabupaten.

Ke-20 kabupaten/kota itu adalah Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Blitar, Tulungagung, Kota Madiun, Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Nganjuk, Ponorogo, Jember, Situbondo, Banyuwangi, Gresik, Surabaya, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Kabupaten Mojokerto, dan Lumajang.

Dari 20 kota tersebut, Banyuwangi menjadi kota yang paling besar nilai kerugiannya, yakni mencapai Rp 519,27 miliar. Disusul Situbondo dengan Rp 416,12 miliar, Jember Rp 72,546 miliar, Kota Malang 72,374 miliar, dan Kota Surabaya 36,427 miliar.

Hasil riset menunjukkan modus korupsi antara lain dilakukan dengan cara menyelewengkan anggaran sebanyak 28 persen, melakukan penggelapan dana 25 persen, mark up 48 persen, mark down 2 persen, dan menyalahgunakan wewenang 11 persen.

Adapun pelaku korupsi adalah pejabat satuan kerja perangkat daerah (dinas, kantor, badan) sebanyak 56 persen; wali kota, bupati, dan sekretaris daerah sebanyak 44 persen; legislatif 9 persen; yudikatif sebanyak 5 persen; serta aparat desa 1 persen. "Hasil riset ini menunjukkan bahwa korupsi adalah budaya kekuasaan, bukan budaya masyarakat," ujar Zia.

Dampak korupsi tidak hanya merugikan uang negara, tapi juga merugikan masyarakat. Menurut Zia, korupsi mengakibatkan jumlah orang miskin meningkat serta mengurangi kualitas kesehatan masyarakat dan kualitas pendidikan. Dampak semua itu, daya saing masyarakat menjadi rendah dan pertumbuhan ekonomi terbilang rendah.

Untuk menghukum para pelaku korupsi, mencegah adanya nilai kerugian negara yang lebih banyak, dan mengantisipasi terjadinya korupsi, MCW meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Timur mengambil alih penanganan kasus korupsi dari tangan kejaksaan negeri di sejumlah daerah. MCW menilai kinerja kejaksaan negeri sejumlah daerah sangat lamban dan tebang pilih dalam menangani kasus korupsi.

MCW juga meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan reformasi birokrasi, meminta pemerintah kabupaten/kota melakukan audit kebijakan, dan membuat rencana aksi daerah dalam pemberantasan korupsi.

Selain itu, MCW meminta pemerintah pusat mendirikan pengadilan khusus tindak pidana korupsi di seluruh daerah di Jawa Timur.

Riset MCW ini, kata Zia, dilakukan sejak tiga bulan lalu. Pengumpulan bahan riset didapat dari analisis pemberitaan media, hasil forum grup diskusi dengan jaringan kerja antikorupsi yang tersebar di 20 kota di Jawa Timur, hasil analisis laporan dari masyarakat, serta temuan Badan Pemeriksa Keuangan.

Tujuan riset untuk mengetahui modus korupsi, pelaku korupsi, nilai kerugian negara, dan dampak korupsi.

Kepala Humas Pemerintah Kota Malang Jarot E. Sulistyono tak percaya Kota Malang menduduki peringkat keempat dalam nilai kerugian negara akibat korupsi. Menurut dia, Pemerintah Kota Malang telah menerapkan program pemerintah bersih sehingga tak ada kasus korupsi. "Ini terbukti dengan tidak adanya penyidikan kasus korupsi di Pemerintah Kota Malang," katanya. BIBIN BINTARIADI


Penggerogot Uang Rakyat

Hasil riset Malang Corruption Watch yang dilakukan sejak tiga bulan lalu sungguh mengejutkan. Riset MCW menemukan, di 20 dari 38 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur, uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan lenyap ditilep para pelayannya.

Modus korupsi pun beragam. Ada yang menyelewengkan dana, menggelembungkan anggaran, serta menggelapkan dana.

Pelaku pun rata. Dari eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga perangkat desa. Dari pejabat itu, pelaku dari pejabat satuan kerja perangkat daerah menduduki peringkat pertama.

Pejabat SKPD: 56 persen
Eksekutif: 44 persen
Legislatif: 9 persen
Yudikatif: 4 persen
Aparat Desa:1 persen

20 Kabupaten/Kota yang Korup

Kota Malang
Kabupaten Malang
Kota Batu
Kabupaten Blitar
Kabupaten Tulungagung
Kota Madiun
Kota Kediri
Kabupaten Kediri
Kabupaten Nganjuk
Kabupaten Ponorogo
Kabupaten Jember
Kabupaten Situbondo
Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Gresik
Kota Surabaya
Kabupaten Sampang
Kabupaten Pamekasan
Kabupaten Sumenep
Kabupaten Mojokerto
Kabupaten Lumajang

5 Kabupaten/Kota Terkorup

1. Kabupaten Banyuwangi. Nilai korupsi Rp 519,27 miliar. Modus korupsi dilakukan dengan cara menggelapkan dana (57 persen).

2. Kabupaten Situbondo sebesar Rp 416,12 miliar. Di wilayah ini korupsi dilakukan juga dengan modus penggelapan dana (50 persen).

3. Kabupaten Jember dengan nilai Rp 72,546 miliar. Di sini korupsi menggunakan modus penyelewengan dana (50 persen).

4. Kota Malang dengan nilai Rp 72,374 miliar. Modus korupsi dijalankan dengan cara menggelembungkan anggaran (60 persen).

5. Kota Surabaya dengan nilai 36,427 miliar. Korupsi dilakukan dengan modus penyelewengan dana (36 persen).

SUMBER: HASIL RISET MCW, 2008

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/22/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20081222.151637.id.html

11 Dec 2008

Mengenang Munir: He's Gone





Ini catatanku tentang Munir, yang kubuat dua hari setelah ia meninggal dalam perjalanan menuju Belanda dengan pesawat Garuda 974 pada Selasa, 7 September 2004. Catatan ini pernah kukirimkan ke Redaksi Tempo.

Sedangkan dua foto almarhum yang kupasang jelas merupakan foto lama. Waktu itu aku mendapat kesempatan dua kali mewawancarai Munir di Batu untuk memenuhi tugas dari kantor. Ketika itu penyakit levernya sedang kumat.

Almarhum kufoto pada Selasa, 2 April 2002.
Satu foto ia sedang memangku putra pertamanya yang waktu itu berumur 4 tahun, Sultan Alif Allende. Suciwati, sang istri, waktu itu sedang mengandung Diva Suu Kyi Larasati. Kandungannya kira-kira berumur tiga bulan.

Dalam foto kedua almarhum sedang mengelus-elus Jhonny, ayam pelung berumur 1,5 tahun yang diberikan seorang temannya di Cianjur. Si Jhonny setia membangunkan Munir untuk salat subuh dengan berkokok nyaring.

Setahu dan seingatku, kecuali Tempo,
foto Munir bersama Jhonny pernah dimuat beberapa media tanpa menyebutkan namaku selaku pemotretnya, kecuali diklaim sebagai dokumen milik Komunitas Utan Kayu. Tapi ini bukan masalah dan tiada siapa pun yang patut disalahkan. (ABDI PURMONO/ABEL)

--------------------------------------------------------------------------

Aku merasa beruntung pernah berjumpa dengan Munir ketika Redaksi Tempo News Room menugasiku mewawancarai almarhum di rumahnya yang asri oleh ragam tanaman di Batu. Itulah kali pertama aku bertemu dengan Munir, tokoh kondang yang sebelumnya kukenal dari media massa.

Sialnya, aku baru tahu dari Komang jika laporan itu dimuat di rubrik Tamu Koran Tempo edisi Minggu, April 2002. Sayang sekali, aku tahunya setahun setelah laporan itu dimuat. Hingga sekarang aku masih berharap bisa mendapatkan Koran Tempo yang kumaksud buat dokumentasi pribadi.

Munir kutemui dua kali, Senin (1/4/) malam dan Selasa (2/4) siang, di tahun 2002. Sebenarnya waktu itu kondisi fisiknya jelek. Penyakit levernya kumat tapi dia memang keras kepala. Dia tetap meladeni sejumlah pertanyaan yang kuajukan berdasarkan garis besar dari Redaksi.

Semula aku menyangka Munir seorang yang sangat serius sehingga untuk tersenyum pun susah sekali. Sangkaanku kontan berubah begitu tanya-jawab berlangsung. Aku makin mengagumi pribadi seorang Munir, yang tidak saja bersahaja dalam berpenampilan, tapi juga lugas dan tangkas dalam berargurmen. Pun, mampu berseloro dengan cara yang bernas.

Dalam kesempatan berbeda, aku masih bisa menikmati sikapnya yang hangat, terbuka, dan gampang akrab. Gaya bicaranya pun nyaris tidak berubah. Hingga sekarang aku tak bisa menemukan cacat Munir, kecuali dia seorang yang amat keras kepala, terlebih tatkala dia sudah merasa benar. Cacat ini pun bukan sesuatu yang buruk lantaran dia membuktikan diri tetap istiqamah pada ide-idenya dan tiada ragu pada keyakinannya. Dan, kerja kerasnya terbukti.

Banyak hal baik yang bisa diingat dari Munir. Salah satu yang paling impresif: “Sebetulnya saya tidak setuju disebut orang yang berani dan nekat. Saya bukan seorang pemberani. Saya merasa biasa-biasa saja. Cuma, saya mencoba menjadi orang yang rasional terhadap risiko kerja; menjadi orang yang selalu meyakini apa yang saya kerjakan adalah benar. Keyakinan ini yang membuat saya berusaha tenang dalam semua situasi. Itu saja prinsipnya. Saya juga meyakini bahwa Tuhan tidak akan membebani hambanya di luar kemampuannya dia. Itu sudah jaminan. Sebagai manusia biasa tentu saja saya punya banyak keterbatasan.”

Sekarang, aku tak lagi bisa bertemu dengannya. Tidak lagi dapat menikmati sikap dan gayanya yang asyik. He’s gone... Tapi, tentu saja ide-ide, pemikirannya tidak akan ikut raib begitu saja. Aku hanya menyesalkan mengapa Tuhan begitu gampang mencabut nyawa orang baik berusia muda dan produktif, seperti Munir, seperti Ahmad Wahib, seperti Soe Hok Gie, tapi seakan sengaja membiarkan para politisi busuk dan koruptor yang pura-pura sakit tetap hidup berkepanjangan. Dalam baik sangka, aku percaya Tuhan punya cara sendiri untuk mencintai hambanya nan mulia.

Munir telah wafat. Dia telah mengorbankan dirinya buat proyek besar kemanusiaan yang belum selesai. Teramat banyak orang yang kehilangan dia sehingga aku pun tak sendiri dalam duka. Munir seorang yang ikhlas. I think, Munir had no desire to rise in the world. He loved his daughters.

Aku percaya, he considered himself unlucky karena mati muda (8 Desember 1965 - 7 September 2004). His life was short but full; hidupnya memang pendek tapi penuh. (Malang, 9 September 2004).

Mengenang Munir







Konser Tribute to Munir di Sasana Krida Universitas Brawijaya, Rabu, 10 Desember 2008, malam.

10 Dec 2008

Hari HAM di Malang Diwarnai Unjuk Rasa








Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia 10 Desember hari ini di kabupaten dan kota Malang diwarnai dengan unjuk rasa 700-an orang gabungan petani, buruh, dan mahasiswa.

Sekitar 400 petani dari tiga kecamatan di Kabupaten Malang, yakni Pagak, Bantur, dan Gedangan, memulai aksi di halaman kantor bupati dengan dikawal sekitar 60 polisi dan 40 personel Satuan Polisi Pamong Praja. Mereka datang dengan menumpang 10 truk.

Menurut Hadili, koordinator aksi, mereka menuntut Pemerintah Pusat turut terlibat dalam penyelesaian masalah sengketa tanah Purboyo seluas 4.811 hektare yang dikuasai Pusat Latihan Tempur Marinir TNI Angkatan Laut selama 30-an tahun.

Mereka mengaku tidak lagi mempersoalkan keberadaan Puslatpur tapi meminta segala bentuk intimidasi dengan cara merusak rumah warga dihentikan. Pihak Marinir diminta memperbolehkan Pemerintah Kabupaten Malang untuk membangun rumah-rumah warga yang dirusak, sekaligus membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial.

“Yang paling kami butuhkan sekarang ini listrik dan air. Kami ini merasa belum merdeka hingga sekarang,” kata Hadili kepada wartawan.

Unjuk rasa di kantor bupati hanya berlangsung sekitar 15 menit. Setelah itu mereka bergabung dengan 300-an buruh dan mahasiswa yang menunggu di Stadion Gajayana, Kota Malang. Seluruhnya kemudian menuju Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Wali Kota Malang.

Massa ini menamakan diri Aliansi Rakyat Malang, gabungan Serikat Buruh Demokratik Malang, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Serikat Buruh Seluruh Indonesia Malangkucecwara, Aliansi Gerakan Reformasi Agraria, Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia, Forum Belajar Bebas, Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Tertindas, Front Mahasiswa Nasional, dan Serikat Mahasiswa Indonesia.

Mahmudi, koordinator lapangan aksi, membacakan delapan tuntutan pada pemerintah yakni pencabutan Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang upah minimum; jaminan penerapan upah minimum 2009 sesuai dengan keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/403/KPTS/013/2008 bagi seluruh buruh di kota dan kabupaten Malang.

Selain itu pemerintah diminta memberi perlindungan dan kepastian kerja bagi semua buruh dan penghentian PHK (pemutusan hubungan kerja) di seluruh pabrik di kota dan kabupaten Malang; adanya jaminan bagi masyarakat Malang selatan untuk membangun rumah dan fasilitas umum, seperti listrik, jalan, dan air; penyediaan pupuk murah bagi seluruh petani; jaminan terhadap kebebasan berorganisasi, dan berekspresi bagi mahasiswa.

“Kami juga meminta pemerintah dan Pertamina untuk segera menurunkan harga BBM (bahan bakar minyak) sesuai dengan penurunan harga minyak dunia,” kata dia.

Beberapa perwakilan Aliansi diterima Wali Kota Peni Suparto tapi pertemuan itu tak menghasilkan kesepakatan apa pun. Massa Aliansi tampak begitu kecewa dan marah karena tuntutan mereka ditolak Peni.

Dalam guyuran hujan, mereka kemudian bergerak ke kantor bupati Malang yang berjarak sekitar 700 meter dari balai kota. Unjuk rasa berakhir sekitar pukul 15.00 Wib dan tak membuahkan hasil seperti yang mereka harap.

8 Dec 2008

Demokrasi Menang di Kongres AJI







Kongres ketujuh AJI sudah berlalu. Gairah, kegetiran, dan optimisme mewarnai jalannya kongres sampai Nezar Patria dan Jajang Jamaludin mendapat mandat memimpin AJI selama tiga tahun hingga 2011.

Delegasi peserta kongres bergairah mengusulkan nama-nama kandidat. Kegetiran dirasakan peserta kongres yang jagonya kalah. Tidak seluruh peserta kongres mendukung duet Nezar-Jajang. AJI Surabaya, misalnya, meninggalkan ruang sidang (walk out) untuk menolak pencalonan Nezar-Jajang.

Namun, di akhir kongres, delegasi AJI Surabaya tampak akur dengan ketua dan sekretaris jenderal terpilih. Begitu pula dengan beberapa delegasi lain yang tak mendukung pasangan Nezar-Jajang.

Sikap, tingkah laku, dan pilihan politik boleh berseberangan, tapi tidak lantas sampai merusak hubungan personal antarsesama anggota AJI. Mengutip pesan moral dalam novel Totto-chan karya Tetsuko Kuroyanagi, sesungguhnya tiada persaingan, tiada kalah-menang di kongres AJI.

Pemenang sejatinya adalah demokrasi. Demokrasi sebuah keniscayaan di AJI. Semoga jiwa demokratis yang dimiliki AJI tidak pudar hanya gara-gara perbedaan sikap, gaya, dan perilaku politik.

From Malang to Sanur
















Beginilah sebagian aksi dan gaya tujuh anggota AJI Malang yang dipimpin Bibin Bintariadi (ketua) sebelum, saat, dan sesudah pelaksanaan Kongres VII AJI Indonesia di Hotel Sanur Beach, Bali, 28-29 November 2008.

Saat menyeberang dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, ke Pelabuhan Gilimanuk, Jembrana, (28/11) dinihari, kami bersua dengan kafilah AJI Kediri yang beranggotakan lima orang dengan dipimpin Dwidjo Utomo Maksum. Sebelumnya kami mengisi perut di sebuah restoran di Paiton, Probolinggo.

Sehabis kongres, tak lupa kami berfoto bersama Nezar Patria dan Jajang Jamaludin, ketua dan sekretaris jenderal AJI Indonesia terpilih. Di lobi hotel, malam sebelum kepulangan ke Malang, lagi-lagi kami pasang aksi bersama rekan dari daerah lain, seperti Ruslan Sangaji alias Ochan (Palu) dan Verrianto Madjowa (Gorontalo).








Suasana Konferensi Kedua AJI Malang










Empat foto yang menggambarkan suasana pelaksanaan konferensi kedua AJI Malang, Sabtu (6/12), mulai pembacaan laporan pertanggungjawaban pengurus periode 2005-2008
hingga pemilihan ketua dan sekretaris baru. Peserta konferensi memang sedikit, tapi pelaksanaan konferensi berlangsung hangat dan demokratis.

Konferensi Kedua AJI Malang Berakhir


Konferensi Kedua AJI Malang Berakhir Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang telah menyelesaikan konferensi kedua pada Sabtu, 6 Desember 2008, di P-Wec ProFauna, Desa Petungsewu, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.

Konferensi didahului diskusi bertajuk “Inisiatif Lokal dalam Upaya Penyelamatan Lingkungan di Media”, hasil kerja sama AJI Malang dengan ESP-USAID.

Sebanyak 20 anggota AJI Malang mengikuti konferensi yang digelar di bawah kaki Gunung Kawi tersebut. Sebagian dari mereka datang dari Surabaya, Madiun, Kediri, Pasuruan, dan Probolinggo. Dini Mawuntyas (Tempo) dan Heru Priyatmojo (Radio Citra Protiga) bertindak sebagai pimpinan sidang.

Hadir sebagai peninjau beberapa pimpinan organisasi yang selama ini menjadi partner AJI Malang, seperti Malang Corruption Watch, Wahana Lingkungan Hidup. AJI Indonesia diwakili Bung Winuranto Adhi (Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta).

Seluruh peserta konferensi menerima laporan pertanggungjawaban pengurus lama yang dipimpin duet Bibin Bintariadi dan Eko Widianto, dengan sedikit catatan untuk perbaikan laporan. Konferensi berpuncak pada pemilihan ketua, sekretaris, dan pengurus baru.

Ada empat kandidat ketua: Abdi Purmono alias Abel (Tempo), Wahyoe Boediwardhana (The Jakarta Post), Bibin Bintariadi (Tempo), dan Heru Priyatmojo. Bibin dan Heru menyatakan tidak bersedia dicalonkan.

Alhasil, tinggal Abel dan Wahyoe yang maju. Hasilnya, Abel menjadi ketua terpilih AJI Malang periode 2008-2011, dengan dukungan 16 suara berbanding empat suara.

Berikutnya, Hari Istiawan, jurnalis media online Berita Jatim, terpilih menjadi sekretaris, dengan perolehan delapan suara. Sedangkan dua kandidat lagi, Renni Susilawati (Surya) dan Wahyoe, masing-masing mendapatkan enam suara.

Terima kasih untuk Bung Bibin Bintariadi, Bung Eko Widianto, serta pengurus yang lain untuk kerja kerasnya selama tiga tahun pertama usia AJI Malang.

Terima kasih pula untuk perhatian dan kerja sama yang diberikan rekan dan sahabat AJI Malang, seperti ProFauna, Wahana Lingkungan Hidup, Malang Corruption Watch, dan ESP-USAID.